Bahkan menurut Kapolri Tito, aturan yang tertuang dalam pasal 204 dan 205 UU MD3 itu tidak ada cantelannya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Jujur saya agak surprise mendengar statement Kapolri Jend Pol Tito Karnavian," ujar Bambang dalam keterangan yang diterima wartawan, Selasa (20/6).
Politisi yang akrab disapa Bamsoet ini mengatakan bahwa dirinya juga rekan-rekan se-komisi seperti Benny Harman, Sudding, Aziz Syamsuddin, Ahmad Yani, dan Desmond J Mahesa masih ingat betul proses penyusunan UU MD3 tersebut. Di mana rumusan pasal 204 dan 205 UU MD3 justru atas permintaan Kapolri ketika itu, Jenderal Pol Sutarman.
Dengan rumusan itu, menurut Kapolri Sutarman, sudah sangat cukup bagi Polri melaksanakan perintah DPR. Sehingga tidak perlu diatur lebih detail.
Itu dikemukakan Polri untuk menjawab permintaan anggota pansus RUU MD3 dari Demokrat Benny K Harman agar pasal tentang masalah pemanggilan paksa diatur secara tegas dalam UU MD3.
"Maka kemudian lahirlah UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 yang mengatur secara tegas dan jelas tentang tata cara dan pelaksanaan pemanggilan paksa itu di dalam pasal 204 dan 205," jelasnya.
Dalam pasal 204 ayat 1-5 UU 17/2014, mengatur jelas terkait pemanggilan paksa oleh Polri. Bahkan pada ayat 5 anggarannya pun diatur dan dibebankan ke DPR.
Bahkan, lanjutnya, pasal 205 ayat 7 UU MD3 secara tegas dan jelas juga memberikan hak dan kewenangan kepada pihak berwajib (polisi) untuk dapat melakukan penyanderaan paling lama 15 hari atas permintaan Pansus atau DPR.
"Nah, kalau sekarang Polri tiba-tiba menolak, masak DPR harus minta bantuan Kopassus atau TNI. Sementara di UU-nya jelas, itu tugas Polri," ketus politisi Partai Golkar ini.
[wid]