Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perang, dari Generasi ke Generasi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yan-daryono-5'>YAN DARYONO</a>
OLEH: YAN DARYONO
  • Kamis, 25 Mei 2017, 11:00 WIB
Perang, dari Generasi ke Generasi
Ilustrasi
 


PERANG dan sejarah manusia di muka bumi ini, nyaris tidak terpisahkan. Berawal dari manusia hidup dalam kelompok-kelompok yang terpisah dan membentuk  entitas  masing-masing  yang  kemudian  secara alamiah, entitas-entitas  tersebut  saling menyerang untuk mengalahkan satu dan lainnya. Pihak yang  menang akan menguasai yang kalah, begitu ketentuan yang tidak tertulis tetapi terjadi secara alamiah pula.

Dalam salah satu bagian dari kitab Bhagawad Gita dikisahkan tentang percakapan antara Arjuna dengan Sri Kresna atau Gowinda. Saat itu Sri Kresna sedang menjadi kusir kereta perang Arjuna dan Arjuna yang berperawakan tegap berdiri tegak dengan busur panah yang siap dilepaskan. Pada saat perjalanan menuju kuru setra, Arjuna bertanya kepada Sri Kresna, “Wahai Gowinda, kenapa harus ada peperangan seperti ini?”

Sri Kresna yang sedang mengendali kereta kuda menjawab tanpa menoleh kepada Arjuna. Dia bilang, “Perang itu memang perlu terjadi, karena peperangan adalah bagian dari perjalanan sejarah manusia. Maka apa pun perangnya, akan selalu membawa perubahan. Entah perubahan baik, atau perubahan buruk. Tergantung apa tujuan perangnya.”

Mendengar jawaban Sri Kresna yang sederhana tapi penuh makna, Arjuna tertegun sambil menggenggam erat busur panahnya. Ya perang selalu membawa perubahan. Entah perubahan baik, atau perubahan buruk. Tergantung apa tujuan perangnya.

Pada masa pra sejarah yaitu sejak bangsa-bangsa manusia terbentuk dan hidup dalam kelompok atau komunitasnya, antara bangsa-bangsa itu kerap melakukan peperangan. Perang untuk menaklukan satu dan lainnya, perang untuk melindungi komunitasnya atau perang untuk bertahan hidup. Perang memang menjadi bagian dari perjalanan hidup manusia, menjadi bagian dari peradaban dan kebudayaan, bahkan kemudian menjadi bagian sejarah suatu bangsa.

“Perang” menurut pengertian dalam kamus Bahasa Indonesia W.J.S. Poerwadarminta, disebutkan sebagai permusuhan antarnegara dan bangsa yang mengerahkan tentara bersenjata. Sehingga perang juga merupakan kancah pertempuran bersenjata yang tujuannya adalah menaklukan atau bertahan.

Perang terus berlanjut sampai pada saat kelompok-kelompok manusia itu membentuk kerajaan sebagai kemajuan peradaban dan kebudayaannya. Tujuan perangnya adalah untuk saling menguasai antara satu dan lainnya. Pihak yang kalah akan dirampas harta benda dan wilayahnya, lalu diperlakukan sebagai budak bagi pihak yang memenangkan perang. Hingga pada tahun 1648, bangsa-bangsa yang berperang bersepakat untuk berdamai. Perjanjian perdamaian itu disebut sebagai Perjanjian Westphalia.

Namun meski perjanjian perdamaian telah ditandatangani dan disepakati oleh berbagai bangsa yang saling berperang, faktanya perang terus saja berlanjut dengan berbagai alasan dan tujuan. Misalnya perang antar suku, etnis dan ras lalu perang  yang dilakukan atas nama agama dan budaya.

Perang kemudian ini ternyata tidak terbatas dua pihak berseteru, tapi justru sudah menjalin persekutuan  antar kelompok,  bangsa  atau  negara. Sehingga spektrum perang pun meliputi wilayah yang sangat luas. Contohnya adalah Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang menjadi kancah perang antar persekutuan banyak negara di berbagai benua. Oleh sebab  itu  sejarah militer khususnya dan sejarah perang umumnya, mencatat bahwa generasi perang dimulai dari paska Perjanjian Westphalia seperti berikut:

Perang Generasi Pertama (1648-1860)

Sebagai suatu perang klasik, perang generasi pertama ini memiliki ciri formal, tertib, rapi  dan  menjunjung  nilai-nilai  ksatria. Hal  itu  dikaitkan dengan kultur milier yang penuh keteraturan ( disiplin ) dan memiliki etika perang yaitu dengan membedakan antara warga sipil dan militer, termasuk identitas militer yang berseragam  serta bertanda  pangkat  sebagai  jenjang kepemimpinan dan perangkat  persenjataan  yang  digunakan.  

Perang generasi pertama sangat ditentukan oleh kekuatan pasukan dalam bentuk jumlah prajurit, persenjataan dan keahlian, serta pengalaman dalam bertempur secara frontal berhadapan. Contoh paling sederhana dari perang generasi pertama ini adalah Perang Napoleon yaitu ketika bangsa Perancis melakukan ekspansi di daratan Eropa.

Perang Generasi Kedua (1860-1918)

Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di awal abad 19, yaitu ketika ditemukannya mesiu dan mesin perang, perang generasi ke dua mengedepankan daya  tembak  meriam  untuk  penghancuran massal. Metode tersebut dikembangkan oleh militer Perancis pada Perang Dunia I.

Maka ciri dari perang generasi ke dua ini ialah daya tembak yang terkendali secara terpusat, terperinci dan teratur bagi infantri, tank dan artileri yang menekankan  pentingnya  peran komandan dalam pertempuran. Doktrin yang sangat  ditekankan  dalam  perang  generasi ke dua ini adalah “the artilery conquers, the cavalry as the attackers and the infantry occupies.” Selanjutnya motto yang berkembang  dalam perang generasi pertama dan ke dua adalah “close and destroy”.

Perang Generasi Ketiga

Perang generasi ke tiga adalah produk dari Perang Dunia I yang dikembangkan oleh militer Jerman dalam Perang Dunia II dan dikenal dengan sebutan  “blitzkrieg”  atau  perang  dengan  manuver  berdasarkan daya tembak pada  sasaran musuh dan menguras seluruh kemampuan musuh dalam pertempuran jarak jauh mau pun jarak dekat.

Ciri perang generasi ke tiga ini ialah mengutamakan kecepatan, spontanitas, kekuatan mental serta fisik prajurit. Dalam strategi  ini,  kedisiplinan prajurit dalam bertempur akan menentukan hasil yang dicapai  dan  bukan  menentukan  cara  bertempur. Maka pada perang generasi ke tiga  ini,  insiatif prajurit mau pun komandan lapangan menjadi lebih penting dari pada ketaatan kepada komando atas. Selanjutnya desentralisasi dan insiatif yang berasal dari perang generasi ke tiga memunculkan strategi baru dalam perang, yaitu interoperability strategy  dalam membangun sinergitas dan komunikasi pertempuran dengan dukungan perangkat teknologi modern.

Perang Generasi Keempat

 
Perang Dunia II berakhir setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang pada 15 Agustus 1945. Peristiwa tersebut mengakhiri konflik bersenjata di sebagian kawasan Eropa dan Asia Pasifik. Selanjutnya kurang lebih satu dekade kemudian, perang yang berlanjut adalah Perang Dingin (cold war) atau perang intelijen dan spionase. Karena paska Perang Dunia II itu, meskipun sudah ditandatangani kesepakatan perdamaian dunia, tetapi negara-negara yang lebih maju ekonomi dan teknologinya masih melakukan pengembangan teknologi persenjataannya untuk perang konvensional.

Di sisi lain, perang dingin yang berlangsung di seluruh dunia ini, akhirnya memproduksi perang generasi keempat. Kemudian dalam perang generasi ke empat ini  terjadi lagi  perubahan radikal terhadap norma perang yang pernah disepakati dalam Perjanjian Westphalia. Yakni kembali ke budaya perang masa lalu yaitu yang terlibat konflik bukan semata-mata negara (state actor) tetapi keluarga, suku, penganut agama dan dunia usaha yang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Maka pada perang generasi keempat inilah muncul istilah perang  asimetris atau asymmetric warfare yang sudah  dikenal sejak  perang Franco Spanish di tahun 1823. Perang asimetris ini memiliki ciri yaitu semakin kaburnya batas-batas norma perang seperti yang pernah disepakati dalam Perjanjian Westphalia. Karakter lainnya adalah perang dalam generasi  ini  bersifat  transnasional,  tidak  mengenal medan perang yang pasti, tidak pula membedakan antara sipil dan militer, tidak mengenal masa perang dan damai serta tidak mengenal garis depan.

Sesungguhnya perang generasi ke empat bukanlah sesuatu yang baru. Dalam pidatonya dihadapan taruna West Point  - Juni1965, Presiden AS John F Kennedy mengatakan seperti berikut:

“Perang  generasi  keempat adalah jenis perang yang lain, baru dalam intensitasnya tapi kuno dalam asal mulanya. Perang oleh gerilyawan, pemberontak, pengacau, pembunuh. Perang dengan dadakan atau tiba-tiba, bukan dalam  bentuk  pertempuran terorganisir. Perang dengan penyusupan, bukan dengan agresi. Mencari kemenangan dengan ‘merontokkan musuh’ bukan dengan ‘menghadapinya’. Perang tanpa etika. Maka Itu adalah tantangan di hadapan kita, jika kebebasan harus diselamatkan.”

Perang generasi keempat berakar kepada aturan fundamental yang menyatakan bahwa kemauan politiklah yang lebih superior. Bila digunakan dengan benar dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Perang generasi ke empat tidak berusaha untuk menang dengan cara mengalahkan pasukan militer pihak musuh, tapi justru menyerang kemauan politik musuh dengan menggabungkan antara taktik gerilya dengan pembangkangan sipil serta jaringan ikatan sosial, budaya dan semacamnya. Yaitu melalui aksi kampanye disinformasi, gosip, hoax dan aktifitas politik yang inovatif.

Menurut Harry Darwanto dalam makalahnya “Perang Asimetris” menyebutkan bahwa perang generasi keempat atau perang asimetris  dalam skala besar yang pernah terjadi paska Perang Dunia II adalah Perang Vietnam, Perang Saudara Srilanka, Perang antara Israel dan Palestina, Perang Saudara di Suriah, Perang Somalia dan seterusnya.

Bahkan pada saat Jenderal Sudirman melakukan perang perlawanan terhadap  militer Belanda dalam Agressi II yaitu paska proklamasi kemerdekaan RI, juga melalui perang asimetris atau perang gerilya. [Bersambung/***]

Penulis adalah pemerhati isu-isu keamanan dan pertahanan. Tinggal di Bandung. Tulisan ini adalah bagian kedua dari empat bagian tulisan.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA