Demikian dikatakan peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz, dalam diskusi "Meriam DPR untuk KPK", di Cikini, Jakarta, Sabtu pagi (6/5).
"Dalam pasal 24 UU MD3, disebutkan eksplisit bahwa hak angket adalah hak penyelidikan atas pelaksanaan suatu UU dan atau kebijakan pemerintah," kata Donal.
Angket adalah penyelidikan DPR RI. Penyelidikan ini bukan pro justicia, melainkan penyelidikan di wilayah politik terhadap pelaksanaan UU dan atau kebijakan pemerintah.
Karena harus ditujukan kepada pemerintah, maka angket yang diarahkan DPR RI ke KPK adalah salah alamat.
"Pertanyaannya, KPK bagian dari eksekutif atau kuasi yudisial? KPK bukan bagian dari eksekutif. Kalau kita baca ketentuan ini, sudah salah alamat," tegas Donal.
Selain itu, angket harus berkaitan hal penting strategis dan berdampak luas pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang diduga bertabrakan dengan peraturan perundangan. Pertanyaan Donal lagi, tindakan mana dari KPK yang dianggap melanggar UU. Dia mengungkap, sejumlah dasar yang dipakai DPR untuk mengajukan hak angket, antara lain masalah pengelolaan aggaran, pengelolaan dokumen, dan konflik internal KPK.
"Pertanyaannya, mana yang melanggar undang-undang? Seharusnya dijelaskan, ini loh dugaan yang bertentangan dengan undang-undang. Tapi, enggak ada undang-undang yang dilanggar," ucap Donal.
Dia menambahkan syarat lain yang tidak terpenuhi dari penggunakan hak angket terhadap KPK. Soal jumlah pengusul. Sampai diputuskan paripurna, jumlah pengusul tidak mencapai 25 orang anggota Dewan.
"Setelah angket diputuskan, baru bertambah jadi 26 orang. Syarat pengambilan keputusan (di sidang paripurna) pun tidak dihadiri lebih dari setengah seluruh anggota DPR. Musyawarah mufakat tidak tercapai, berapa yang setuju angket tidak dihitung. Mekanisme secara formal tidak dijalankan," lanjut Donal.
Karena itu semua ia menyebut penggunaan angket terhadap KPK sebagai teror dan premanisme politik. Selain itu, pengambilan keputusan yang dilakukan terburu-buru pun seolah merendahkan anggota DPR yang tidak diberi kesempatan bersuara.
"Saya menyebutnya teror dan premanisme kepada KPK. Ada dua premanisme, fisik dan politik. Angket KPK tidak sesuai tata aturan, maka yang terjadi premanisme secara politik," tegas Donal.
[ald]