Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ironi Hoax Sri Mulyani

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Rabu, 03 Mei 2017, 23:17 WIB
Ironi <i>Hoax</i> Sri Mulyani
Foto: Net
rmol news logo Hari ini, 3 Mei, dunia merayakan Hari Kemerdekaan Pers. Bagi Indonesia yang menjadi tuan rumah, perayaan World Press Freedom Day tahun ini tentu menjadi sangat istimewa.

Kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam jumpa pers bersama Menkominfo Rudi Antara di Jakarta Convention Center (JCC), Selasa (2/5), Indonesia menjadi tuan rumah karena dipandang sebagai role model bagi kebebasan pers dunia. Sungguh membanggakan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla secara resmi membuka WPFD 2017 pada siang hari, Rabu (3/5). Sementara Presiden Joko Widodo memberikan sambutan pada puncak kegiatan di malam hari.

Tak kurang 1.500 wartawan dari seluruh penjuru dunia berkumpul di JCC dari tanggal 1 Mei. Mereka mendiskusikan sejumlah hal, mulai dari perlindungan terhadap wartawan dalam menjalankan tugas di kawasan rawan konflik, sampai soal kesejahteraan dan penguasaan teknologi.

Yang juga turut diseminarkan dengan sangat serius di arena WPFD 2017 adalah persoalan yang belakangan ini sedang menjadi keprihatinan kita bersama, terutama insan pers Indonesia, yakni penyebaran kabar bohong atau hoax baik melalui media sosial, apalagi media massa.

Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bersama Jaringan Wartawan Anti Hoax (Jawarah) dan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) menggelar seminar khusus untuk membahas masalah ini, Senin (1/5). Temanya, Fighting Hoax News, Empowering Cyber-based Media (Memerangi Hoax, Memberdayakan Media Siber). Sebagai pembicara dalam seminar itu adalah Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan Eko Sulistyo, pakar hukum pers Wina Armada Sukardi, Pendiri Pusat Studi Kelirumologi Jaya Suprana, dan Ketua Harian Jawarah Agus Sudibyo. Adapun Ketua bidang Daerah PWI Pusat Atal S. Depari menjadi moderator.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa penyebaran berita bohong atau hoax sudah mencapai level yang mengkhawatirkan. Perkembangan ICT mempermudah informasi-informasi tak faktual yang diproduksi dengan aneka ragam maksud itu menyebar ke seantero negeri dalam waktu cepat.

Di saat bersamaan, sikap sebagian anggota masyarakat juga menyedihkan, karena permisif pada hoax, dan tidak sedikit yang berperan sebagai produsen kabar bohong. Sebagian lain hanya berperan dalam hal penyebaran, baik karena setuju dengan pesan yang dibawa informasi hoax itu, atau karena tidak mengetahui hal ihwal kebohongan.

Mungkin karena sedemikian frustrasi, Jaya Suprana yang juga Penasehat SMSI sampai-sampai menyebut hoax sebagai anak haram demokrasi. Sesuatu yang tidak diinginkan, tetapi tidak bisa dihindarkan ikut lahir dari rahim demokrasi.

Bagi kalangan pers dan media, urusan hoax sebenarnya dapat dengan mudah ditangani karena ada begitu banyak rambu dan etika yang harus dipatuhi dalam menjalankan profesi.

Komitmen untuk menjaga ruang redaksi dari infiltrasi hoax juga perlu diperkuat, misalnya dengan menjadikan persoalan ini sebagai persoalan bersama di lingkungan perusahaan media. SMSI, misalnya, termasuk yang concern dengan upaya ini.

Namun, perkembangan terakhir ini tidak bisa tidak membuat kalangan pers dan media gamang. Sudah sering ditemukan media massa mengikuti kabar hoax yang diproduksi masyarakat awam melalui media sosial, kata Agus Sudibyo.

Berbagai cara diupayakan untuk mengedukasi publik dan insan pers agar menjauh dari praktik produksi dan diseminasi kabar hoax. Salah satunya adalah Jawarah yang memadukan tindakan pencegahan atau edukasi dan literasi dengan tindakan koreksi dan meluruskan kabar hoax yang berdimensi besar dan sangat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bagaimana dengan produksi dan diseminasi hoax di kalangan masyarakat awam. Kata Wina Armada Sukardi, piranti hukum kriminal bisa digunakan untuk membuat jera pihak-pihak yang membuat dan menyebarkan kabar bohong.

Adapun Eko Sulistyo menjelaskan betapa pemerintahan Jokowi bekerja keras menjawab serangan hoax dari pihak-pihak yang ingin mengganggu konsentrasi pemerintah mewujudkan agenda Nawacita. Dia mencontohkan, ada upaya mendiskreditkan pemerintahan Jokowi dengan menggunakan isu 10 juta tenaga kerja dari Tiongkok atau Republik Rakyat China (RRC). Tujuan dari upaya ini, sebutnya, adalah untuk mengaitkan pemerintahan Jokowi dengan komunisme dan tergantung pada Tiongkok, yang pada gilirannya untuk menghilangkan kepercayaan rakyat pada pemerintah.

Hoax Pertumbuhan Ekonomi?

Rabu pagi (3/5), salah satu informasi pertama yang dibicarakan masyarakat dan pemerhati politik adalah artikel yang ditulis kolumnis Jake Van Der Kamp di South China Morning Post, Hongkong. Judul artikel yang ditulis Der Kamp sangat menohok dan terus terang: “Sorry President Widodo, GDP Rangkings are Economists’ Equivalent of Fake News”.

Der Kamp mengatakan, pernyataan Presiden Jokowi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah yang ketiga tertinggi di dunia sebagai fake news atau kabar bohong alias hoax. Bayangkan.

Menurut catatan Der Kamp, untuk urusan pertumbuhan ekonomi di tahun 2017, Indonesia berada di urutan 13.

Peneliti dari Lingkar Studi Perjuangan Gede Sandra mencoba menelusuri urusan pertumbuhan ekonomi Indonesia ini.

Ada dua informasi yang penting. Pertama, dari web TradingEconomics.com disebutkan bahwa ada 37 negara di dunia yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari Indonesia. Menurut TE, untuk tahun 2017 tiga besar dalam hal pertumbuhan ekonomi adalah Islandia (11,3 persen), Irak (11 persen), dan Ethiopia (9,6 persen).

Informasi lain dari data anggota G20. Di kalangan anggota G20 pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah yang terbesar ketiga, setelah India (7,2 persen) dan Tiongkok (6,8 persen). Tetapi membandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan negara-negara lain yang sudah mapan dan steady, menurut Gede Sandra, adalah tidak fair, tidak apple to apple. Negara-negara yang sudah mapan itu hanya mengalami pertumbuhan ekonomi di kisaran 3 persen.

Gede mengatakan, dari penelusuran yang dilakukan, informasi bahwa pertumbuhan ekonomi adalah yang tertinggi ketiga di dunia disampaikan pertama kali oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada pertengahan Desember 2016 lalu.

Disimpulkan oleh Gede bahwa informasi Sri Mulyani inilah yang membuat Presiden Jokowi pede mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia merupakan yang ketiga tertinggi dunia. Sikap kepercayaan diri yang pada akhirnya melahirkan tudingan dari Der Kamp bahwa Presiden Jokowi menyebarkan kabar bohong.

Menyakitkan.

Di Hari Kemerdekaan Pers Dunia, dimana Indonesia menjadi tuan rumah, dan salah satu hal yang dibahas adalah soal penyebaran hoax dan kabar bohong, justru ada pihak di luar sana yang menuding pemerintah Indonesia menyebarkan kabar bohong.

Dan setelah ditelusuri, “fake news” itu justru berasal dari seorang menteri. Ironis.

Sementara itu, di arena WPFD 2017 tadi (Rabu malam, 3/5) Jokowi mengajak insan pers dan media berperan di barisan depan dalam memerangi kabar bohong dan hoax. Kalau ada informasi yang tidak benar, sebutnya, perlu diluruskan. Jangan asal diviralkan.

Karena hoax sejatinya bisa diproduksi oleh siapa saja, maka perlu disampaikan bahwa tulisan ini sejalan dengan seruan Presiden Jokowi memerangi hoax. [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA