Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Demi Karirisme, "Aktivis Lingkungan Hidup Istana" Mengubur Sejarah Perjuangan Hak Veto Rakyat Atas Pertambangan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/pius-ginting-5'>PIUS GINTING</a>
OLEH: PIUS GINTING
  • Senin, 27 Maret 2017, 13:38 WIB
Demi Karirisme, "Aktivis Lingkungan Hidup Istana" Mengubur Sejarah Perjuangan Hak Veto Rakyat Atas Pertambangan
Abetnego Tarigan/Net
ABETNEGO Tarigan, mantan aktivis lingkungan dan sesudahnya segera (revolving door) menjadi ahli KSP berbicara di depan Gubernur Jawa Tengah, Menteri LHK dan Menteri BUMN tentang penolakan warga atas pembangunan proyek pabrik dan penambangan semen di Pegunungan Kendeng. Di depan pejabat yang sangat menentukan keputusan proyek ini, Abetnego menyatakan bahwa warga tidak meminta penutupan pabrik semen. Dan juga menyebutkan bahwa organisasi lingkungan tempat dimana dia selama empat tahun pernah beraktivitas menyatakan tidak ada pikiran untuk menutup. Hal ini terungkap ke publik karena sebuah rekaman video berjudul "Abetnego Tarigan 'Nggak Ada permintaan penutupan'. Pernyataan Abetnego mengaburkan perjuangan panjang aktivis lingkungan dalam  mendampingi masyarakat korban penambangan.
Selamat Berpuasa

Dikarenakan mendampingi korban penambangan, beberapa aktivis dalam jaringan organisasi lingkungan hidup telah mengalami kriminalisasi. Diantaranya, Yani Sagaroa karena aktivismenya melawan perusahaan tambang emas Newmont Nusa Tenggara harus mengalami hidup dalam penjara (Direktur Lembaga Olah Hidup Masuk Penjara, Tempo, 10  Desember 2007). Rignolda Jamaluddin dari Sulawesi Utara menghadapi gugatan perdata dari perusahaan tambang emas Newmont Minahasa Raya dan mengadapi SLAPP (Strategic Law Against Public Participation) Suitdiancam harus membayarUS $ 750 ribu terhadap perusahaan tambang tersebut. Almarhum George Junus Aditjondro, pendiri organisasi lingkungan hidup dalam aktivismenya membantu warga Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami ancaman kekerasan.

Melihat langsung dampak penambangan, dan mempertimbangkan keberlanjutan kehidupan warga sebelum penambangan masuk ke ruang hidup mereka, maka penolakan tambang adalah salah satu pilihan. Namun dengan cara apa? Keputusan DPRD? Kepala Daerah? Organisasi lingkungan hidup melihat institusi tersebut tidak efektif dalam perlindungan warga yang bakal terdampak pertambangan. Karena anggota institusi tersebut sering memiliki kepentingan yang berbeda dengan warga yang terdampak langsung oleh pertambangan. Tercatat banyak kejadian dimana DPRD bukan mewakili kepentingan warga yang memilih mereka/konstituen untuk menolak tambang. Diantaranya, warga Kabupaten Donggala yang protes terhadap Bupati dan DPRD II Donggala karena membiarkan kegiatan penambangan galian C. sampai melakukan pemblokiran di lokasi tambang, perusahaan tetap beroperasi (2006). Ribuan warga Minahasa Utara memprotes 13 anggota DPRD yang menyetujui tambang PT. MSM. Ribuan warga Labuan Bajo memprotes Bupati dan anggota DPRD yang meyetujui tambang emas. Daftar ini lebih panjang lagi.

Organisasi lingkungan hidup melihat yang paling menentukan seharusnya adalah warga yang terdampak itu sendiri. Sehingga organisasi lingkungan hidup dalam perjuangannya membangun konsep “Hak Veto Rakyat”.  Salah satu upaya mewujudkan hak veto rakyat ini adalah dengan melakukan uji materi terhadap Undang-undang Pertambangan no 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemohon uji materi tersebut adalah warga terdampak pertambangan berasal dari Kulonprogo (DIY Yogyakarta), Seluma (Bengkulu), Likupang (Sulawesi Utara) bersama dengan beberapa organisasi lingkungan hidup dan perempuan serta organisasi bantuan hukum.

Dalam permohonannya, organisasi lingkungan hidup menyebutkan, "kami memohon agar majelis hakim Mahkamah Konstitusi dapat menetapkan bahwa  Pasal 6 ayat (1) huruf e … tidak memiliki kekuatan hukum mengingat, atau setidaknya menyatakan bahwa pasal-pasal a quo tetap konstitusional berdasar Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 sepanjang kata "memperhatikan pendapat masyarakat" dimaknai penetapan Wilayah Pertambangan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan DPR RI dan mendapat persetujuan tertulis dari setiap orang yang wilayah maupun tanah miliknya dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terdampak negatif.

Veto rakyat atas pertambangan ini hendak diwujudkan lewat persetujuan tertulis dari setiap orang yang wilayah maupun tanah miliknya dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terdampak negatif. Pentingnya mendapatkan persetujuan tertulis dari warga yang terdampak mengingat DPRD dan kepala daerah sering mengeluarkan izin perusahaan di ruang warga, dan warga sering kali memilih jenis ekonomi lain, khususnya pertanian dan nelayan, sebagian mata pencarian mereka.

Dan upaya mewujudkan hak veto rakyat ini pun telah diperkaya dengan sebuah kajian berjudul Mengatasi Partisipasi Semu Warga Terdampak Wilayah Pertambangan, yang menemukan bahwa warga di sekitar pertambangan di Sumatera Utara (Batang Toru), Sulawesi Tenggara (Kolaka), dan Nusa Tenggara Timur (Manggarai Barat) tidak ada menikmati  partisipasi dalam semua kebijakan pertambangan di ruang hidup mereka. Dimana lewat partisipasi tersebut mereka punya kekuatan mem-veto ya atau tidak bagi kegiatan pertambangan.

Warga sekitar pegunungan Kendeng telah menyatakan sikap secara terbuka, lewat demontrasi, upaya hukum menyatakan menolak kehadiran kegiatan penambangan semen di ruang hidup mereka. Dan dalam perjuangan mereka ternyata kini tak hanya menghadapi tantangan dari DPRD, Kepala Daerah dan pemerintahan pusat, juga mantan aktivis lingkungan hidup yang melemahkan tuntutan warga yang mempertaruhkan hidup menghadapi sebuah proyek pabrik dan pertambangan semen. [***]

Penulis adalah aktivis lingkungan hidup dan Kordinator Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA