Benturan ini bersifat dialektik, berupa tesa dn antites yang akan menemukan sintesanya atau bisa sebaliknya, kita mengalami kegagalan yang berkelanjutan.
Kaum hegelian, marxian dan pengikut Socrates memastikan bahwa sintesa dari sebuah dilektika sejarah akan muncul dengan sendirinya berupa resolusi yang bersifat spiral. Namun, dengan sumbangan pikiran Jean Paul Satre, yang memasukkan faktor "aktor" (pelaku/agen) dalam menganalisa situasi sosial secara dialektik, kita bisa melihat sosok-sosok yang merupakan agen/aktor dalam perubahan yang sedang berlangsung saat ini.
Jokowi, misalnya, adalah sosok aktor penting. Pilihan Jokowi untuk datang ke acara 212 adalah keputusan tunggal Jokowi, (menurut Jubir Istana, Johan Budi dalam sebuah wawancara di TV Swasta, tempo hari). Keputusan tunggal ini memberi arti bahwa Jokowi sebagai "aktor" ikut menentukan sejarah yang sedang berlangsung. Dalam proses dialektikanya, Jokowi memastikan terjadinya dialog kebangsaan antara dua kebudayaan yang sedang berlawanan.
Kita dapat memaknai bahwa Jokowi itu, selain mewakili sebuah kebudayaan besar yang sedang bertarung, juga mewakili dirinya sebagai pelaku sejarah yang sedang mendorong adanya sintesa dari benturan budaya ini. Sebagai "aktor" , peristiwa aksi 212, Jokowi menunjukkan ada tiga hal penting: (1) Jokowi adalah sosok dialogis dan mendorong adanya sebuah dialog tuntas. Sosok Jokowi ini bahkan siap mengambil resiko terhadap keselamatan dirinya pada saat itu.
(2) Jokowi melakukan langkah "pengasosiasian" dengan ikut meneriakkan Takbir Allahu Akbar dan Sholat Jumat, sebuah langkah simbolik pengakhiran perbedaan. (3) Jokowi memastikan tidak memerlukan aksi aksi tandingan berikutnya dari kelompok "kebhinekaan", sehingga sintesa dapat segera terjadi.
Momentum Kebangsaan
Tentu saja kelompok penyelenggara aksi aksi tandingan, seperti Yorrys Raweay pada aksi 412, kecewa dengan ketidakhadiran Jokowi di acara mereka. Tapi, itu tidak akan berpengaruh sedikitpun pada ketokohan Jokowi di kalangan pengikutnya, sebab Jokowi memang simbol yang tidak tergantikan di sana. Apalagi tiga sosok yang menjadi tulang punggung Jokowi, yakni Megawati, Luhut Panjaitan dan Tito Karnavian, tidak hadir di aksi kebhinekaan 412.
Sebaliknya, dengan langkah Jokowi pada panggung aksi 212, menciptakan momentum besar bagi sebuah diolog dan adanya resolusi. Dengan demikian, arah kebangsaan kita ke depan berpeluang mendapatkan sintesis, berupa sebuah peradaban baru yang lebih solid yang akan menjadikan bangsa kita menjadi bangsa besar. Tentu saja ini adalah sebuah permulaan, yang memerlukan kerja keras dan cerdas ke depan.
Ada tiga hal penting setidaknya bagi Jokowi dan bangsa ini perlu lakukan sebagai upaya merebut momentum yang ada:
(1) Memastikan Islam dan ummat Islam diikutkan secara sadar sebagai pelaku sejarah secara aktif. Kepastian ini akan menjembatani dialog sosial secara dinamis antara ummat Islam dengan kelompok "pluralis", dalam ruang bersama.
Selama ini ummat Islam memang merasa mengalami proses marjinalisasi secara sosial dan ekonomi. Merubah posisi ummat Islam dari objek pembangunan menjadi subjek pembangunan adalah proses "transformasion of quantitative into qualitative".
(2) Merumuskan kembali wajah peradaban bangsa kita sesuai dengan prinsip-prinsip yang bersifat historis, seperti menonjolkan harmoni, gotong royong dan welas asih. Juga mengikis kehadiran spirit individualistik, "survival for the fittest" dan meninggalkan kaum miskin demi memanjakan orang orang kaya.
(3) Mereformasi sistem legal agar mendukung terwujudnya sebuah peradaban baru.
Untuk poin pertama di atas, Jokowi perlu mendorong adanya institusi yang bekerja memetakan situasi sosial ummat Islam dalam pembangunan yang sedang berlangsung. Meskipun publik melihat kemampuan Tito Karnavian melakukan dialog dengan seluruh elit elit Islam sehingga aksi 212 berlangsung damai, tentu institusi ini harus di luar institusi keamanan. Sebab, tema keterlibatan ummat Islam dalam pembangunan nasional merupakan isu keadilan sosial, bukan isu keamanan.
Untuk isu kedua, membangun peradaban yang komprehensif dan kembali ke jati diri bangsa, Jokowi perlu melibatkan sebanyak mungkin "stake holder" bangsa. Dalam kaitan ini, Jokowi harus memasukkan juga kelompok-kelompok strategis yang memiliki agenda kembali ke UUD45 Asli. Khususnya, kelompok Rachmawati Soekarnoputri. Sebab, bisa jadi memang benturan sosial yang sedang berlangsung selama ini karena kita meninggalkan konstitusi Asli kita. Wisdom kebangsaan kita, sekali lagi, hanya bisa digali, dengan melibatkan semua pihak.
Untuk poin ketiga, tentu perlu kecepatan dalam mereview dan segera mereformasi sistem legal kita, agar benar benar mendukung munculnya peradaban bangsa yang genuin dan maju.
Tantangan bagi Jokowi adalah ketepatan, kecepatan dan kecerdasan membaca dan mengkonsolidasikan momentum. Sebab, sebuah momentum baik, jarang datang kedua kalinya. Semua ini hanya bisa terjadi jika situasi politik dalam suhu yang dingin paska panggung aksi 212. [***]
Penulis ada pendiri Sabang Merauke Circle
BERITA TERKAIT: