Afirmasi Kuota Penerimaan Peserta Didik Baru: Cukupkah?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Kamis, 02 Juni 2016, 06:28 WIB
Afirmasi Kuota Penerimaan Peserta Didik Baru: Cukupkah?
PROSES penerimaan peserta didik baru(PPDB) merupakan salah satu ritual akhir tahun ajaran yang menyita banyak pihak, baik calon peserta didik, orang tua, sekolah dan pemerintah daerah. Prosesi PPDB di sekolah negeri semakin pelik karena tak sepadannya ketersediaan kursi (supply) dan besarnya keinginan untuk bersekolah di sekolah negeri (demand) sehingga terjadi kompetisi yang sangat ketat. Ketatnya persaingan ini tak dapat dilepaskan dari interaksi antara pilihan orang tua dan standar kriteria sekolah.

Persaingan PPDB merupakan keniscayaan namun titik keberangkatan calon peserta didik sangat ditentukan oleh persiapan sejak dini yang berkelindan dengan tingkat status sosial dan kesejahteraan ekonomi orang tua.
Orang tua yang berkecukupan mampu menyiapkan anak-anaknya sejak pendidikan prasekolah seperti taman kanak-kanak (TK), raudhatul atfhal (RA) dan layanan pendidikan anak usia dini lainnya (PAUD). Setelah memasuki akhir jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah, anak-anak dari keluarga mampu berkesempatan mendapatkan pendampingan tambahan melalui beragam les privat dan bimbingan belajar sehingga lebih siap untuk mengikuti ujian akhir nasional (UN). Di samping aspek gizi yang baik dan kecerdasan bawaan, persiapan yang rapi inilah yang mampu mengantarkan anak-anak tersebut untuk meraih skor UN yang memadai untuk masuk sekolah-sekolah lanjutan pertama negeri idaman yang pada jenjang selanjutnya akan menjadi tiket untuk menikmati sekolah lanjutan atas negeri favorit.

Sementara itu, siswa dari keluarga kurang mampu tak memiliki persiapan yang memadai bahkan sebagiannya juga harus bergelut dengan usaha membagi waktu antara sekolah dan bekerja membantu orang tua sehingga kesulitan untuk melewati kriteria masuk sekolah negeri harapan. Akibatnya, sekolah-sekolah negeri yang secara umum lebih baik sarana, prasarana dan sumber daya manusianya lebih banyak dinikmati anak-anak dari keluarga mampu dan anak-anak dari keluarga kurang mampu hanya memiliki dua alternatif, antara melanjutkan ke sekolah swasta yang infrastrukturnya terbatas karena sekolah swasta mapan tentu tak mungkin terjangkau atau mereka tak melanjutkan sekolah dan beradu nasib masuk lapangan pekerjaan yang tak terampil atau menganggur sehingga semakin memperkokoh lingkaran setan kemiskinan.

Realitas ini tentu akan semakin menjadikan sekolah sebagai sistem yang akan memperkokoh segregasi sosial sehingga dibutuhkan upaya afirmatif untuk mengatasi ironi tersebut. Salah satu kebijakan afirmatif yang patut diapreasi adalah Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 50/2015 perihal pedoman penerimaan peserta didik baru pada sekolah menengah atas (SMA), sekolah menengah kejuruan(SMK), Madrasah Aliyah (MA) dan MA Kejuruan Tahun Pelajaran 2015/2016 yang menegaskan adanya kuota untuk jalur non-akademik untuk afirmasi (keberpihakan) keluarga miskin sebanyak 20 persen.

Sebagai ikhtiar awal, kebijakan afirmasi tersebut perlu didukung sekaligus diawasi sehingga benar-benar mampu memenuhi rasa keadilan sekaligus membuka tapak jalan bagi anak-anak dari keluarga tak mampu untuk menikmati pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Sekalipun di kota-kota besar sudah mulai banyak SMA/SMK/MA swasta yang lebih kompetitif namun tentu dengan biaya yang tak mungkin terjangkau keluarga kurang mampu.

Sekalipun penelitian Bedi & Grag (2000) menunjukkan efektif dan efisiennya sekolah swasta dibanding sekolah negeri namun capaian siswa di sekolah negeri secara umum lebih baik dari sekolah swasta (Newhouse & Beegle, 2005).  Fakta tersebut dapat dipahami karena sebagian besar sekolah yang memiliki infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai masih didominasi oleh sekolah negeri sehingga sekalipun sekolah negeri kurang efisien (Jimenez et al., 1991) namun tetap lebih berpeluang melahirkan keluaran yang lebih baik apalagi masih ada 80 persen siswa yang masuk sekolah negeri merupakan siswa yang terseleksi secara akademik.

Tentu saja kebijakan afirmatif ini tidak mungkin mampu menjawab persoalan kesenjangan akses terhadap pendidikan menengah atas yang berkualitas namun bisa menjadi batu pijakan awal sehingga diharapkan dalam jangka panjang mampu memperbaiki masa depan siswa dari keluarga yang kurang mampu. Di samping itu, kebijakan afirmatif tersebut tak akan sepenuhnya berjalan mulus sehingga dibutuhkan dukungan dan pengawasan semua pihak untuk perbaikan terus-menerus.

Memperkuat Sekolah Menengah Swasta

Kebijakan afirmatif kuota untuk siswa dari keluarga kurang mampu tak mungkin mampu menjadi panasea untuk memperluas akses pendidikan menengah karena porsinya yang terbatas. Untuk itu diperlukan upaya tambahan agar kesempatan untuk memperluas akses bagi siswa yang kurang mampu dan kurang beruntung dengan memperkuat sekolah menengah swasta yang akan menampung calon siswa yang tidak diterima di sekolah menengah negeri.

Jika merunut pada pesan pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka semua peserta didik baik yang tertampung di sekolah menengah negeri dan juga swasta merupakan anak bangsa yang patut diperlakukan setara. Di sisi lain, kehadiran sekolah menengah swasta akan sangat berkontribusi dalam mendukung upaya pemerintah untuk memulai pendidikan menengah umum universal.

Jika di jenjang pendidikan dasar peran swasta hanya sebesar 13 persen, maka sejak lama peran sekolah swasta di jenjang pendidikan menengah sangat signifikan, yaitu mencapai 60 persen (Estelle, 1991). Dengan sumber daya yang terbatas, pemerintah akan kesulitan untuk melaksanakan pendidikan menengah umum universal jika mengandalkan kapasitas sekolah negeri karena untuk memperluas cakupan akan membutuhkan biaya yang sangat besar yang meliputi: pembangunan gedung sekolah, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. Untuk itu, pilihan yang paling tepat adalah dengan melakukan kemitraan dengan penyelenggara pendidikan swasta yang sangat besar kontribusinya dalam melayani siswa yang tak tertampung di sekolah negeri.

Setidaknya ada alternatif untuk menjalin kemitraan dengan sekolah swasta.

Pertama, memperlakukan sekolah swasta sebagai "kontraktor" dalam menyediakan layanan pendidikan dengan mengkompensasi hasil layanan dengan mengkombinasikan perhitungan berbasis jumlah siswa dan kualitas keluaran. Kemitraan ini akan memantik sekolah swasta untuk meningkatkan kualitas sehingga mampu menarik banyak calon peserta didik. Perluasan akses melalui jumlah siswa dan peningkatan kualitas akan melipatgandakan kompensasi yang akan diberikan pemerintah ke sekolah swasta. Di sisi lain, pemerintah tak perlu melakukan investasi besar-besaran untuk pembangunan gedung dan infrastruktur serta penyediaan tenaga pendidik dan kependidikan untuk sekolah baru (USB). Dengan demikian, kemitraan ini akan menguntungkan pemerintah, sekolah swasta dan peserta didik tinggal bagaimana membagi tanggung jawab proporsi kompensasi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota.

Kedua, memberikan voucer pendidikan untuk siswa dari keluarga yang kurang mampu yang tak tertampung di sekolah negeri dan melanjutkan di sekolah swasta. Voucer pendidikan ini akan menarik siswa kurang mampu yang tak tertampung di sekolah negeri untuk tetap melanjutkan sekolah sehingga mampu menekan angka tidak melanjutkan (demand-side). Di sisi lain, voucer tersebut juga akan menjadi pendorong penyelenggara sekolah swasta untuk secara aktif merekrut calon siswa dari keluarga tidak mampu (supply-side).

Pendekatan sinergis permintaan dan penawaran tersebut akan mampu meningkatkan angka melanjutkan jenjang pendidikan menengah yang akan berkontribusi dalam mendukung program pendidikan menengah umum universal. Insya-Allah. [***]

Penulis adalah penekun kajian pendidikan di The Inter-university Center for Social Science Theory and Methodology (ICS),University of Groningen. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA