Skenario Skandal Memecah Opini Publik, Freeport Tetap Happy

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Rabu, 16 Desember 2015, 12:33 WIB
Skenario Skandal Memecah Opini Publik, Freeport Tetap <i>Happy</i>
ilustrasi/net
rmol news logo Kasus pelanggaran etika Ketua DPR RI, Setya Novanto, alias kasus "Papa Minta Saham" mengandung banyak kejanggalan. Jika ditelisik lebih jauh, akan ditemukan dugaan skenario untuk memecah opini publik dan mengamankan posisi Freeport.

Di tengah publik, kasus ini begitu intensif diperbincangkan. Semakin banyak orang yang tidak hanya membicarakan sisi pelanggaran etikanya dalam rekaman pembicaraan antara Setya Novanto dengan bos Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha Riza Chalid di Ritz Carlton, Jakarta (8 Juni 2015).
 
Publik makin cerdas mendalami kepentingan-kepentingan lain di balik kasus ini, mulai dari kepentingan para pemburu rente lokal dan hubungannya dengan permainan adu domba Freeport di balik ini semua. Pembicaraan ini mulai dari warung kopi sampai media sosial.

Redaksi menerima salah satu pesan berantai menyangkut polemik Freeport dan bukti rekaman "Papa Minta Saham", membeberkan setidaknya 25 poin yang diklaim sebagai "fakta".

Poin pertama, pesan itu menegaskan bahwa pihak yang meminta saham Freeport adalah MR (Muhammad Riza), donatur Jokowi. Saham yang akan diterima (yang dibahas dalam pertemuan di Ritz Carlton) rencananya bakal jatuh ke tangan Jokowi-JK. Setnov sendiri tak mendapat sedikitpun saham.

Jika skandal ini berjalan mulus, tentu yang mendapat saham adalah Jokowi-JK. Jika tidak ada divestasi, maka Freeport wajib membangun smelter di Papua.

Kondisi seperti itu menyebabkan dilema di pihak Freeport, antara kehilangan saham atau kehilangan banyak biaya untuk membangun smelter. Diingatkan pula bahwa satu hal yang paling ditakuti oleh Freeport adalah opini publik yang menginginkan pemerintah menasionalisasi tambang emas Papua. Dengan begitu, Freeport bangkrut karena tak ada lagi yang bisa dieksploitasi.

Pesan yang sama mengungkapkan, semua potensi kerugian Freeport bisa hilang asalkan opini publik dapat dialihkan. Karena itulah Freeport merancang skenario skandal, untuk memecah opini publik. Freeport mengadu dua kekuatan besar, yaitu parlemen dengan eksekutif. Dengan begitu maka parlemen tak akan menyoroti pembangunan smelter, dan smelter tak kunjung rampung.

Selama tak ada smelter, Freeport terus mengekspor konsentrat. Dengan demikian membuka potensi penggelapan. Jika hasilnya berupa 2 ton emas, maka laporan yang mereka sampaikan ke pemerintah berupa 1 ton emas dan sisanya tembaga.

Keuntungan Freeport lainnya adalah hilangnya ambisi Jokowi-JK untuk meminta saham Freeport. Freeport tak kehilangan saham, dan artinya royalti yang dibayarkan tetap 3,75 persen.

Freeport "happy" punya kaki tangan setia macam Sudirman Said, yang rela berjuang demi kepentingan Freeport. Ujung-ujungnya, smelter tidak jadi dibangun, saham tetap utuh dan kontrak diperpanjang. Jokowi "amsyong" (tidak mendapat apa-apa).

Yang lebih apes adalah nasib Setya Novanto karena difitnah sebagai broker (makelar). Padahal dia cuma mau mendesak Freeport untuk segera merampungkan smelter di Gresik dengan Papua. Sedangkan yang broker sebenarnya adalah Riza Chalid, karena dia yang minta saham untuk Jokowi-JK.

Paling parah nasib rakyat. Setelah terkena dampak kebijakan ekonomi yang ngawur, terjepit krisis ekonomi, kebutuhan hidup mahal, gaji tidak sebanding dengan angka kebutuhan hidup layak. Rakyat hanya disuruh menonton Freeport mengeruk emas. Hasilnya adalah untuk memperkuat ekonomi AS.

Disebutkan juga, situasi gaduh ini disebabkan pemerintahan yang terbentuk melalui kecurangan dan pencitraan palsu di Pilpres 2014. Kecurangan itulah yang membuat posisi Jokowi lemah. Kalau sampai kontrak Freeport tak diperpanjang, maka kecurangan pilpres bakal dibocorkan oleh AS. Itu berarti ancaman bagi kekuasaan Jokowi.

Pemerintah dan parlemen diminta menyadari bahwa musuh utama saat ini adalah penjajahan ekonomi oleh Freeport. Seharusnya semua elemen bangsa bersatu menolak perpanjangan kontrak Freeport, meskipun harus berisiko menghadapi intervensi militer dari AS.

Kondisi ini masih bisa diperbaiki dengan mengedepankan penegakan kedaulatan, tanpa kompromi dalam masalah Freeport. Rakyat kini mengharapkan ketegasan pemerintah, untuk mengamankan kekayaan alam, membangun kemandirian dalam mengelola sumberdaya alam. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA