"Jadi, tidak salah jika banyak pihak menyimpulkan ini adalah bentuk kekecewaan dan upaya penjegalan dari pihak yang kalah Pilpres," jelas peneliti Maarif Institute Jakarta, Endang Tirtana (Rabu, 17/9).
Menurut Endang, seharusnya saat ini adalah momentum untuk menunjukkan jiwa ksatria, walaupun tidak memenangkan Pilpres. "Namun dengan menempuh langkah ini, Koalisi Merah Putih bisa semakin ditinggalkan masyarakat pemilih," ungkapnya.
Selain itu, sambung Endang, alasan penghematan anggaran yang disuarakan Koalisi Merah Putih agar kepala daerah dipilih DPRD juga dipertanyakan. Pasalnya, masih banyak cara untuk menghemat anggaran dan mencegah praktek politik uang dalam pemilihan kepala daerah secara langsung.
"Misalnya, melaksanakan pilkada serentak dan
law enforcement/penerapan sanksi yang tegas bagi pemberi dan penerima suap," imbuh Endang.
Endang menjelaskan, walaupun pilkada lewat DPRD bisa menghemat Rp 45 triliun, tapi praktek KKN bakal marak terjadi karena sistem politik transaksional akan menguat antara calon atau kepala daerah terpilih dengan DPRD.
"Cara pilkada tidak langsung menunjukkan mental takut kalah. Karena tidak didukung masyarakat, melainkan bertumpu pada wakil-wakil di kursi DPR saja. Padahal jelas-jelas sebagian besar masyarakat pro pilkada langsung," tegasnya.
Makanya, dia berharap, saatnya polemik soal pilkada oleh DPRD ini diselesaikan yakni pemerintah sebagai pihak pengusul menarik kembali RUU tersebut.
"Jika Pak SBY mau mewariskan sistem demokrasi yang baik, inilah saatnya. Karena pengesahan RUU ini bisa menghilangkan peluang calon-calon kepala daerah yang bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik," demikian kader muda Muhammadiyah ini.
[zul]
BERITA TERKAIT: