Sikap kritis pakar tata negara Yusril Ihza Mahendra beberapa kali mengguncang dunia ketatanegaraan kita. Pada 2010, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian gugatan Yusril Ihza Mahendra terhadap masa jabatan jaksa agung dalam UU 16/2004, dan akhirnya keabsahan jabatan Jaksa Agung yang dipegang Hendarman Soepandji menjadi perdebatan.
Perdebatan panjang dan menguras energi bangsa itu membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakhiri perdebatan dengan mengeluarkan keputusan presiden yang memberhentikan Hendarman.
Sekarang, "ulah" Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang itu kembali membuahkan polemik panjang melelahkan, namun dapat dipastikan berkualitas. Berawal dari permohonan uji materinya untuk beberapa pasal dalam UU 42/2008 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden. Pasal dimaksud adalah pasal 3 ayat 4, Pasal 9, Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 , terhadap Pasal 4 ayat 1, Pasal 6a ayat 2, Pasal 7c, Pasal 22e ayat 1 2 dan 3 UUD 1945.
Dalam pemikiran Yusril, pasal 22e ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 memerintahkan pemilu hanya dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu yang sekali tersebut dimaksudkan untuk memilih anggota DPR, DPRD dan DPD, serta pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden.
Masalah bertambah ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan mengabulkan sebagian permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Serentak.
MK menetapkan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden harus dilakukan serentak, tetapi putusan itu baru akan berlaku pada 2019. Nah, putusan ini kemudian mendapat pertanyaan besar dari para pakar tata negara, termasuk Yusril sendiri.
Mengapa MK tetap menganggap Pemilu yang diselenggarakan secara tidak serentak, termasuk Pemilu 2014, dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional?
"Ada kontradiksi interminis, pertentangan logika. Bukankah mereka (MK) sudah mengabulkan gugatan Effendi Gazali dan kawan-kawan? Berarti apa yang diatur UU sekarang kan bertentangan dengan konstitusi," ungkap pakar tata negara, Margarito Kamis.
Kejanggalan lainnya lebih bernuansa politik. Putusan MK itu sebetulnya sudah ditelurkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Harjono, dan Anwar Usman, dilakukan pada hari Selasa 26 Maret 2013.
Tetapi, putusannya baru diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada Kamis 23 Januari 2014.
Walau MK sudah menghasilkan putusan yang mengabulkan uji materi Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Serentak dengan penetapan pemilu serentak 2019, namun uji materi Yusril tetap dilanjutkan.
Yusril yakin, ada perbedaan mendasar antara permohonannya dengan permohonan Efendy Ghazali Cs yang sudah dikabulkan MK. Yusril mengatakan, pasal yang dipakai tidak sama, begitu juga batu uji UUD-nya.
"Kalau permohonan saya, memungkinkan penyelenggaraan pemilu serentak di 2014," terang Yusril.
Keputusan MK yang pertama itu sangat merisaukan bangsa Indonesia. Gugatan demi gugatan menyusul. Hasil Pemilu 2014 baik pileg maupun pilpres sangat terbuka untuk digugat.
Saat ini desakan untuk menunda Pemilu dan Pilpres 2014 sudah bergulir karena alasan kekacauan Konstitusi dan produk pemilu yang potensial ilegal. Bahkan ada segelintir yang mengajukan usul Sidang Istimewa MPRS berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Mulai Kamis kemarin (6/2),
Rakyat Merdeka Online telah membuka poling terkait isu panas legalitas Pemilu 2014.
"
Melihat Putusan Mahkamah Konstitusi No 14/PUU-XI/2013 yang dibacakan Kamis 23 Januari 2014 dalam perkara Uji Materi UU 42/2008 tentang Pilpres, menurut Anda apakah status Pemilu 2014 yang tidak serentak?" Opsi jawabannya: Legal, Ilegal atau Ragu-ragu.
Sampai laporan ini diturunkan, 77,8 persen pembaca RMOL berpendapat Pemilu 2014 yang tidak serentak adalah pemilu yang ilegal. Sedangkan 22,2 persen pembaca menilai legal atau konstitusional. Dan, sementara ini, tidak ada pembaca yang menyatakan ragu-ragu.
Kami mengajak partisipasi pembaca yang belum menentukan pilihan untuk ikut serta dalam poling yang kami sajikan ini. Perlu kami sampaikan, apapun hasilnya nanti, poling ini tidak memenuhi kaidah akademis sehingga tidak mencerminkan sikap rakyat Indonesia secara umum.
[ald]
BERITA TERKAIT: