"Itu keadaan riil yang tak bisa disangkal, popularitas capres lebih penting di Indonesia. Sementara kapabilitas belum mendapat penilaian dari publik. Publik yang banyak itu baru andalkan popularitas saja," kata pengamat politik senior, Arbi Sanit, saat diwawancara
Rakyat Merdeka Online, beberapa saat lalu (Rabu, 25/9).
Arbi menceritakan bahwa dalam sejarahnya golongan berpendidikan di zaman penjajahan Belanda diarahkan menjadi birokrat dan adminstratur, sehingga masyarakat tak menghasilkan intelektual baru yang membangun kapabiilitas intelektual atau teknis.
Selanjutnya, di zaman perjuangan sampai revolusi fisik muncullah tokoh-tokoh masyarakat yang menonjol dan populer karena bergerak dalam perubahan masyarakat secara revolusioner. Popularitas itu yang jadi acuan memilih pemimpin sampai sekarang, baik oleh masyarakat maupun tokoh-tokoh nasional. Keadaan itu ditambah dengan parpol yang tidak melakukan kaderisasi utnuk hasilkan pemimpin yang kapabel.
"Parpol tukang pungut tokoh populer untuk dijadikan pemimpin. Seandainya parpol melahirkan kader sekaligus meningkatkan popularitas sekaligus kapabilitasnya, maka akan lain keadaannya," kata dia.
Masalah yang terjadi sekarang, mereka yang berkapabailitas tinggi justru popularitasnya rendah. Malah yang tak punya kapabilitas yang mempunyai popularitas tinggi.
"Ini problema kepemimpinan Indonesia. Kini, tidak ada pendidikan kader di manapun, baik di parpol maupun bukan parpol. Tokoh kapabel cuma ada di birokrasi baik sipil maupun militer, sementara parpol tak pernah hasilkan pemimpin yang lengkap," terangnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: