"Jangan-jangan nanti simpati buruh tak didapat, harga BBM tak bisa dinaikkan, dan akhirnya Pak SBY tak bisa memutuskan apa-apa," kata anggota Komisi IX DPR RI, Poempida Hidayatulloh, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (30/4).
Poempida mengatakan, adalah hak pemerintah menaikkan harga BBM yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Tapi keberadaan buruh tak bisa dikorelasikan langsung dengan rencana kenaikan harga BBM.
"Kalau harga mau dinaikkan, ya naikkan saja. Tentu harus ada kompensasi signifikan kepada buruh. Silakan model kompensasi yang signifikan itu dirumuskan Pemerintah," ujar politisi Partai Golkar ini.
Lebih lanjut dia menjelaskan, buruh dan masyarakat Indonesia lainnya juga tak ingin APBN terbebani oleh masalah harga BBM, seperti yang berulang-ulang disampaikan pemerintah. Mayoritas masyarakat juga tentu tidak akan suka bila pemerintah akan terus berutang hanya untuk menutupi biaya sesuatu yang 'dibakar'.
"Tapi, bukan berarti hak buruh untuk mendapatkan kehidupan layak terzalimi hanya karena kenaikan harga BBM," tegasnya.
Sebelumnya, Presiden SBY memastikan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Namun, pelaksanaannya masih menunggu kesiapan kompensasi atas dampak kenaikan harga BBM kepada rakyat miskin. Di sisi lain, para perwakilan buruh diterima Presiden SBY di Istana Negara, Senin (29/4).
Sementara sejumlah organisasi buruh tetap menyatakan akan berdemo pada May Day, 1 Mei besok, meminta upah layak dan menolak kenaikan harga BBM.
[dem]
BERITA TERKAIT: