Negara di tangan SBY-Boediono cenderung melakukan pembiaran, sehingga tiap ancaman pelanggaran HAM pada akhirnya menjadi kasus pelanggaran dan kemudian meluas. Akibat lebih jauh, kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi cenderung menyulut pelanggaran HAM lain yang kian rumit, kompleks, berlarut, dan nyata tidak mudah diurai akar persoalannya.
Demikian catatan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) untuk peringatan Hari HAM 10 Desember mendatang yang diterima redaksi, Jumat (7/12).
Seperangkat instrumen regulasi sektor HAM sebagai alat pemaksa bagi penegakannya relatif telah menjadi ketetapan. Tetapi itu semua tak banyak berpengaruh mengingat dalam praktiknya pengelola pemerintahan dan kenegaraan jauh dari keinginan yang sungguh-sungguh untuk benar-benar memberikan jaminan pemenuhan HAM.
Seluruh kebijakan dan rencana aksi di bidang HAM oleh negara sebagai sesuatu yang bersifat etalatif belaka,
lip service dan pemenuhan kepentingan menjaga citra.
Jika harus dirumuskan dengan kalimat yang lebih sederhana, di tangan SBY-Boediono, pemenuhan, perlindungan dan penghargaan atas HAM masih jauh dari harapan "hakikat dari nilai-nilai sejati HAM" itu sendiri.
PBHI meminta SBY-Boediono secara sungguh-sungguh memberikan jaminan perlindungan, penegakan, penghargaan dan pemenuhan HAM serta secara sistematis menghentikan tradisi pembiaran atas terjadinya pelanggaran HAM yang cenderung meningkat, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Di tangan SBY-Boediono, negara harus terus menerus hadir, bekerja, serta bertanggung-jawab atas berbagai problema kemasyarakatan yang selama ini seolah-olah tak pernah memperoleh jalan penyelesaian relatifnya sebagai kewajiban negara.
Terakhir, SBY-Boediono harus segera merumuskan agenda strategis yang bermakna memposisikan negara dan kedaulatan rakyat di tangannya sebagai alat nyata bagi perlindungan dan pemenuhan HAM.
[ald]
BERITA TERKAIT: