Kini, setelah Polri melalui Detasemen Khusus 88 Anti Teror menggelar operasi pemberantasan teroris besar-besaran, rantai aliran dana terorisme bisa dibilang terputus. Selain itu, tentu saja "jagoan-jagoan" mereka ditangkapi satu per satu,
Hal itu mengakibatkan perubahan taktik para teroris. Maka, muncullah istilah pembunuhan senyap terhadap aparat negara atau simbol negara, seperti yang menimpa para anggota Polri akhir-akhir ini.
"Mereka mengincar orang-orang yang dipersepsikan sebagai musuh mereka. Kami mendapat kesan polisi tidak siap dengan ini," kata Kriminolog Universitas Indonesia yang juga bertugas sebagai anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala, dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu pagi (14/9).
Ketidaksiapan itu mungkin juga diakibatkan paradigma "polisi masyarakat" yang diadopsi untuk membuat kepolisian tidak ditakuti lagi oleh masyarakat.
"Polisi berseragam tapi tanpa senjata, friendly, dan body system tak ada. Karena, mereka (Polri) tidak mempersepsikan masyarakat sebagai musuh," terangnya.
Namun, dilematis pula bagi kepolisian bila para anggotanya misalnya harus memakai seragam anti peluru dan menyandang senjata api lengkap ke mana-mana. Penampilan seperti itu justru akan membuat program "polisi masyarakat" tidak mencapai target.
Padahal, di sisi lain profesi polisi ini adalah profesi paling berbahaya. Di beberapa negara, salah satunya Amerika Serikat, kematian anggota kepolisian saat menjalankan tugas atau karena jadi target penembakan pun cukup tinggi.
Adrianus menyarankan, salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah dan legislatif untuk menekan jumlah penembakan terhadap anggota Polri seperti terjadi akhir-akhir ini adalah dengan membuat regulasi atau UU yang memperberat hukuman terhadap orang yang melakukan pembunuhan terhadap anggota Polri.
"Di Indonesia harus ada usaha membuat ancaman hukuman, kalau membunuh Polri akan diancam dengan hukuman yang sangat tinggi," kata Adrianus.
[ald]
BERITA TERKAIT: