Dalam wawancaranya dengan
Nikkei Asia, Kato mengungkapkan bahwa penjualan kendaraan di kawasan ini menghadapi tantangan berat akibat kebijakan pajak yang ketat serta persaingan dari kendaraan listrik (EV) asal China yang murah.
"Penjualan di lima negara utama diperkirakan turun dari 3,21 juta unit pada tahun fiskal 2023 menjadi kurang dari 3 juta unit pada tahun fiskal 2024," ujar Kato.
Kato menjelaskan bahwa pasar Indonesia, yang merupakan terbesar bagi Mitsubishi di kawasan ini, diprediksi turun sekitar 10 persen, sementara Thailand bahkan lebih parah dengan penurunan lebih dari 20 persen.
Di Indonesia, penurunan penjualan ini disebabkan oleh kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang mewah dan pajak registrasi kendaraan sejak awal tahun 2024. Kondisi tersebut diperkirakan akan menyebabkan harga kendaraan naik sekitar 5-6 persen tergantung pada model.
Sementara itu, di Thailand, pelemahan pasar terjadi karena kondisi ekonomi yang memburuk, dengan penjualan hanya sekitar 600.000 unit per tahun, terendah sejak krisis keuangan global 2009. Utang rumah tangga yang tinggi disebut menghambat daya beli masyarakat, sementara penjualan truk pikap satu ton yang biasanya laris di pedesaan kini menurun lebih dari setengahnya dalam dua tahun terakhir.
Selain tantangan ekonomi, Kato juga menyoroti semakin gencarnya persaingan dari kendaraan listrik China yang membanjiri pasar dengan harga murah.
"Mereka bertindak berlebihan. Kendaraan listrik Tiongkok yang diproduksi secara berlebihan membanjiri Thailand dan dijual dengan diskon besar, membuat pembeli lama frustasi," ujar Kato.
Menurutnya, produsen mobil China membangun pabrik perakitan di Thailand agar memenuhi syarat mendapatkan insentif pemerintah, namun sebagian besar komponen tetap diimpor dari China.
Akibatnya, kata dia, pangsa pasar kendaraan listrik China yang sempat melampaui 17 persen kini turun ke angka satu digit.
Meski menghadapi berbagai tantangan, Kato menegaskan bahwa Mitsubishi akan tetap menjaga keseimbangan pasar di Thailand dan Indonesia mengingat kedua negara tersebut memiliki pabrik besar milik perusahaan.
Namun, fokus utama mereka saat ini adalah pasar Filipina dan Vietnam yang menunjukkan pertumbuhan positif. Ia menekankan pentingnya memiliki strategi bisnis yang terdiversifikasi di tengah ketidakpastian ekonomi global dan meningkatnya risiko geopolitik.
BERITA TERKAIT: