Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Indonesia Diingatkan soal Tren Rekayasa Pangan Modern

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-alfian-1'>AHMAD ALFIAN</a>
LAPORAN: AHMAD ALFIAN
  • Rabu, 20 November 2024, 10:09 WIB
Indonesia Diingatkan soal Tren Rekayasa Pangan Modern
Pakar pertahanan dan pangan, Dina Hidayana/Ist
rmol news logo Pemerintah perlu mewaspadai pesatnya inovasi di sektor pangan modern. Teknologi canggih kini memungkinkan produksi pangan dibuat di laboratorium dengan rasa, tekstur, dan kandungan gizi yang dapat disesuaikan. 

Negara maju kini mampu menciptakan daging dan ikan salmon di laboratorium. Tren ini tidak hanya menawarkan efisiensi, tetapi juga menggeser pola konsumsi masyarakat menuju pangan instan dan praktis.

Hal ini disampaikan pakar pertahanan dan pangan, Dina Hidayana, saat menghadiri Singapore International AgriFood Week, Selasa kemarin, 19 November 2024.

Dina menyoroti Indonesia masih bergantung pada impor bahan pangan seperti beras, daging, dan gula. Sementara itu, negara maju sudah mengembangkan tren pangan instan, termasuk makanan yang hanya perlu diminum atau disuntikkan, tanpa proses memasak atau mengunyah.

"Pemerintah perlu bergegas dalam mereorientasikan visi kebijakan dengan memperhatikan dinamika global yang semakin progresif dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi," kata Dina lewat keterangan tertulisnya.

Alumnus Doktor Strategi Pertahanan Universitas Pertahanan (Unhan) RI ini melanjutkan, kemajuan teknologi saat ini membuat Indonesia kurang menarik bagi investor. 

Sebab Teknologi telah mampu mengatasi keterbatasan lahan, inefiesiensi air dan energi, juga kebutuhan akan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fisik.

"Tawaran Indonesia atas bentangan daratan seluas nyaris 2 juta kilometer persegi dengan lebih dari 30 persen berupa areal pertanian, juga berlimpahnya jumlah petani Indonesia, sekitar 40 juta dengan 70 persennya adalah petani padi, ke depan bukan lagi nilai jual yang bisa dibanggakan," kata Dina.

Jika tidak segera beradaptasi, Indonesia berisiko tertinggal karena masih bergantung pada impor bahan pangan dasar dan belum memprioritaskan pengembangan teknologi pangan yang berkelanjutan.

"Indonesia harus segera beranjak dari perdebatan rente mafia pangan menuju substansi pembenahan yang spesifik terkait kinerja inovasi, sudahi menjadi follower saatnya bergerak menjadi inovator," pungkasnya.rmol news logo article



Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA