Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Poros Maritim Jokowi Merampas Ruang Laut, Pelanggaran HAM Makin Parah

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Rabu, 01 November 2023, 21:58 WIB
Poros Maritim Jokowi Merampas Ruang Laut, Pelanggaran HAM Makin Parah
Ilustrasi Foto: Pelanggaran HAM perikanan terus meningkat di tengah perampasan ruang laut/Net
rmol news logo Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia melakukan kajian yang menyoroti berjalannya visi poros maritim dunia di era pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. DFW Indonesia mencatat, perampasan ruang laut justru terjadi dengan privatisasi melalui UU Cipta Kerja.

“Dengan mudahnya izin lokasi bagi usaha dan non-usaha melalui Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Ditambah, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dikenakan bagi yang memiliki izin pemanfaatan menetap di ruang laut tersebut,” ucap Research Manager DFW, Felicia Nugroho, dalam keterangannya, Rabu (1/11).

Sambung dia, kebijakan tersebut melengkapi PP No. 32/2019 yang membagi laut menjadi Rencana Zona Kawasan Nasional Strategis, Kawasan Nasional Strategis Tertentu, dan Kawasan Pemanfaatan Umum di tingkat nasional. Di tingkat provinsi UU No. 1/2014 memandatkan Pemerintah Daerah untuk merumuskan Perencanaan Zonasi Wilayah Pulau-Pulau Terkecil (RPZWP3K).

“Zonasi seharusnya dapat menjamin ruang bagi masyarakat pesisir dan nelayan. Nyatanya, perumusan zonasi kehilangan syarat terpentingnya yaitu pelibatan masyarakat-masyarakat terdampak,” ujar Felicia.

Menurutnya, pihak yang dilibatkan dalam kebijakan justru korporasi. Izin zonasi pun menjamin kebutuhan pariwisata, industri, dan pertambangan untuk mengeksploitasi sumber daya pesisir dan mengusir nelayan dan masyarakat pesisir yang mencoba merebut kembali tanah mereka.

“Perampasan yang disponsori oleh zonasi juga terlihat dari pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus, Destinasi Wisata Premium yang sarat akan pelanggaran HAM. Di Mandalika, Komisi HAM PBB menyatakan terdapat pelanggaran HAM setelah adanya penggusuran paksa dan pengerahan aparat.

“Di Pulau Pari, nelayan lokal mengeluhkan kualitas air yang memburuk dan penangkapan ikan yang semakin sulit. Juga tidak dapat dilupakan kasus Rempang yang merupakan akibat dari RZWP3K yang memberikan ruang bagi pertambangan,” pungkasnya.

Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) sebagai rencana aksi pencapaian visi poros maritim dunia pun memiliki ambisi meningkatkan hilirisasi industri perikanan.

Lanjut Felicia, ambisi ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa pasar-pasar Eropa dan Amerika Utara melacak indikasi kerja paksa dan perdagangan orang dalam rantai suplai perikanan tangkap Indonesia.

“Sehingga tidak mengherankan apabila Indonesia kalah dengan negara tetangga seperti Thailand dalam ekspor perikanan mengingat negara tersebut sudah memiliki kepatuhan terhadap HAM perikanan,” tegasnya.

Masih kata Felicia, meskipun sudah ada sertifikasi HAM, serangkaian pelanggaran HAM di atas kapal terus terjadi. Berdasarkan data National Fishers Center dari tahun 2019 hingga 2023, terdapat 112 kasus dan 316 korban pelanggaran hak pekerja seperti kerja paksa, intimidasi, dan kekerasan.

“Penelusuran yang DFW lakukan di Nizam Zachman, Benoa, Bitung dan Dobo juga menunjukan fenomena yang sama. Jika Indonesia tidak dapat menyelesaikan HAM di laut, ambisi hilirisasi produk perikanan tidak akan tercapai,” bebernya.

“Sejatinya, laut dimiliki oleh rakyat. Laut adalah ruang kolektif yang dapat diakses oleh siapa pun dan masyarakat pesisir serta nelayan tradisional adalah dua entitas yang berhak untuk menentukan bagaimana laut dikelola. Jika ada pembatasan terhadap ruang laut, maka yang dibatasi harusnya adalah korporasi dan nelayan industri,” imbuh dia.

“Masyarakat pesisir serta nelayan lokal berhak menentukan bagaimana batasan-batasan ditentukan. Seharusnya pemerintah memiliki peran penting untuk memastikan tidak ada pihak eksternal yang mengintervensi,” imbuhnya lagi.

Felicia menyebut d apabila tidak ada pelibatan publik, transparansi dari pemerintah, dan akuntabilitas dari pembuat kebijakan maka disebut sebagai perampasan.

“Keterlibatan publik yang substansial juga menentukan kepada siapa kebijakan maritim berpihak. Nyatanya, yang terlihat dari Pemerintahan Jokowi adalah pemerintah membuka ruang privatisasi melalui perubahan kebijakan, zonasi, dan kuota, mengorbankan kesehatan laut dan perlindungan HAM, dan membiarkan carut marut dalam pengawasan laut,” jelasnya.

Dia menegaskan bahwa pemerintah bisa saja mengklaim kebijakan yang dikeluarkan ditujukan untuk kesejahteraan, tetapi nyatanya masyarakat pesisir dan nelayan lah yang tergusur, terpinggirkan, dan dipaksa untuk bertanggung jawab atas kerusakan ekologi laut.

“Juli lalu, pemerintah baru saja mengeluarkan Peta Jalan Ekonomi Biru yang sarat akan kepentingan pertumbuhan ekonomi dibandingkan pemulihan. Menjelang Pemilihan Umum 2024, DFW mendorong masyarakat untuk memperhatikan secara serius kebijakan maritim yang dibawakan oleh kandidat eksekutif dan legislatif, baik di tingkat nasional maupun daerah,” pungkas Felicia. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA