Lahir di Rembang, 25 April 1937, Budi Darma mengembuskan napas terakhirnya setelah berjuang melawan Covid-19 di Rumah Sakit Islam A Yani Wonokromo, Surabaya.
Budi Darma merupakan putra keempat dari enam bersaudara. Ayahnya yang seorang pegawai kantor pos dengan tugas berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain.
Kemudian, ia menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sastra Barat Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1963, kemudian Universitas Hawaii pada 1971. Pada 1976, ia juga menyabet gelar MA di Universitas Indiana, Bloomington dan Ph.D di universitas yang sama pada 1980.
Proses menulis Budi Darma dimulai sejak 1968. Hingga kini, banyak tulisan-tulisannya yang dikenal, seperti Olenka (1983), Ny. Talis (1996), hingga Rafilus (1998). Ia juga menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Orang-orang Bloomington (1981), dan berbagai kumpulan esai.
Selama sepak terjangnya, Budi Darma berhasil meraih berbagai penghargaan, baik nasional, regional, maupun internasional. Beberapa kali ia mendapatkan gelar warga Surabaya berprestasi.
Lewat novel Olenka, ia juga mendapat Hadiah Pertama Sayembara Mengarang Roman DKJ 1980 dan Hadiah Sastra DKJ 1983. Setahun berikutnya, ia menggaet Hadiah Sastra ASEAN. Berbagai penghargaan lainnya juga ia dapatkan dari Dewan Kesenian Jakarta, SEA Write Award, dan Anugerah Seni Pemerintah RI.
Nama Budi Darma tidak hanya dikenal di dalam negeri. Ia kerap diundang untuk melakukan penelitian mengenai sastra Inggris dan Amerika. Bukunya juga dibahas di Brunei Darrusalam, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Sehari setelah sepeninggal Budi Darma, perkumpulan penulis Indonesia, Satu Pena, membuat sebuah penghormatan dengan menggelar diskusi "Mengenang Prof. Dr. Budi Darma dan Kontribusinya bagi Sastra Indonesia" pada Minggu sore (22/8).
Diskusi itu dibuka dengan Lagu Indonesia Raya, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan sepenggal alinea cerpen karya Budi Darma "Laki-laki Pemanggul Goni" oleh Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim.
Diskusi sendiri menghadirkan dua narasumber utama, yaitu Gurubesar Universitas Darma Persada Albertine Minderop dan sastrawan Eka Budianta. Mereka banyak membahas sosok Budi Darma dan karakteristik karya-karyanya.
Menurut Eka Budianta, lewat tulisan-tulisannya, Budi Darma telah mendorong kebebasan berpikir dan berimajinasi. Ia juga mengutip tulisan Budi Darma:
"Rafilus telah mati dua kali. Kemarin dia mati. Hari ini, tanpa pernah hidup kembali, dia mati lagi." "Kalimat seperti ini hanya bisa ditulis oleh Budi Darma. Apa yang istimewa dari tulisan-tulisan Pak Budi Darma? Pembacanya pun merasa pintar kalau mengerti. Itu salah satu cara Pak Budi Darma menghormati pembaca. Absurdisme, kebebasan berimajinasi, tapi tetap santun," ujarnya.
Sementara itu, Albertine Minderop menyoroti karya-karya Budi Darma yang dipenuhi ironi dan tragedi. Dalam karya-karyanya, Budi Darma juga menggunakan sudut pandang orang pertama, yaitu "aku", yang dinilai Albertine dapat membukakan perasaan, pikiran, dan harapan.
"Kemudian ada
guilty feeling (perasaan bersalah), kekecewaan, ironi, dan tragedi. Tapi ada mistik. Itulah ciri khas Budi Darma, ada unsur-unsur keagamaan. Beliau adalah moralis," tambahnya.