Pengamat: Pasar Muamalah Secara Syariah Tidak Bertentangan, Tapi Berdasarkan UU Menjadi Masalah Serius

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-satryo-1'>AHMAD SATRYO</a>
LAPORAN: AHMAD SATRYO
  • Rabu, 10 Februari 2021, 13:47 WIB
Pengamat: Pasar Muamalah Secara Syariah Tidak Bertentangan, Tapi Berdasarkan UU Menjadi Masalah Serius
Pengamat ekonomi Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Gunawan Benjamin (tengah) dalam acara Ben's Talk Kantor Berita Politik RMOL Sumut/Repro
rmol news logo Penggunaan alat tukar emas dan atau perak yang diterapkan di Pasar Muamalah bentukan Zaim Saidi alias Amir Saidi dibenarkan secara syariah tetapi tidak jika menurut Undang-undang (UU).

Pengamat ekonomi Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Gunawan Benjamin memaparkan hal tersebut dalam acara Ben's Talk yang diselenggarakan Kantor Berita Politik RMOL Sumut, Rabu (10/2).

"Jadi kalau kita bicara dari konteks syariahnya tidak bertentangan sama sekali," ujar Benjamin.

Berdasarkan pengamatannya terhadap transaksi yang terjadi di Pasar Muamalah, Benjamin menilai konsep sistem perdagangan yang dipakai adalah mengikuti zaman Nabi Muhammad SAW.

"Semangatnya itu sebenarnya seperti zaman Rasul, di mana zaman Rasul mata uangnya masih menggunakan emas dan perak (untuk perdagangan)," tuturnya.

Konsep ini, menurut Benjamin tidak sepenuhnya salah. Karena alat tukar yang dipakai bukan mata uang dinar atau dirham, melainkan koin emas dan atau koin perak yang memiliki nilai nominal.

Berbeda dengan apa yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2011 silam. Di mana, perdagangan dan transaksi objek wisata di Batam mengguanakan valuta asing berupa dolar Singapura.

"Tapi semua itu perlahan sudah hilang, sudah tidak ada lagi,"sebutnya.

Sementara, jika dlihat dari segi Undang-undang yang berlaku di Indonesia, penggunaan emas dan atau perak di Pasar Muamalah, berpotensi  menjadi satu masalah yang dianggap serius oleh pemerintah.

Sebab, jika mengacu pada Pasal 23 UU 7/2011 tentang Mata Uang mewajibkan penggunaan Rupiah dalam transaksi yang dilakukan di wilayah NKRI, baik transaksi tunai maupun non tunai.

Adapun berdasarkan aturan turunannya berupa Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015, menegaskan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah NKRI dan simbol kedaulatan negara.

"Berdasarakan UU yang berlaku di negara ini itu menjadi masalah yang serius," kata Benjamin.

Karena itu, Benjamin juga mewanti-wanti penggunaan koin emas dan atau perak bisa masuk ranah pidana, jika dinilai sebagai transaksi yang menggunakan mata uang selain Rupiah, seperti di Pasar Muamalah yang mengistilahkan koin emas sebagai dinar dan koin perak sebagai dirham.

"Lain halnya kalau misalkan Pak Mirza bilang ini harga jam tangan saya dua dirham atau dua dinar. Nah itu nanti bisa berhadapan dengan UU yang ada di negara ini," demikian Gunawan Benjamin.

Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UU 7/2011 tentang Mata Uang dinyatakan, setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dpenuhi dengan uang dan atau transaki keuangan, di pidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

Sementara, di dalam Pasal 18 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 menyatakan sanksi bagi pelanggaran atas kewajiban penggunaan Rupiah adalah membayar 1 persen dari nilai transaksi yang ditetapkan, dengan jumlah kewajiban membayar paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Adapun sanksi yang diterapkan Polisi usai mentersangkakan Zaim Saidi selaku pendiri Pasar Muamalah Depok adalah Pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA