Difatwakan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui surat Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 02/EDR/I.0/E/2020 Tentang Tuntunan Ibadah Dalam Kondisi Darurat Covid-19, dijelaskan dan dituntunkan beberapa hal terkait Salat Idulfitri dalam Masa Darurat Pandemi Covid-19.
Ada sejumlah syarat dan ketentuan hukum yang mendasari pelaksanaan Ibadah Shalat Id di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini. Mengingat hukum salat ‘Idain (Idulfitri dan Iduladha) adalah sunah muakad (sunnah mu’akkadah) karena shalat yang wajib itu adalah salat lima waktu sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur'an dan hadis-hadis sahih.
Karena itu, apabila pada tanggal 1 Syawal 1441 H yang akan datang kedaan Indonesia oleh pihak berwenang (pemerintah) belum dinyatakan bebas dari pandemi Covid-19 dan aman untuk berkumpul orang banyak maka Shalat Idulfitri di lapangan sebaiknya ditiadakan atau tidak dilaksanakan.
"Hal ini antara lain untuk memutus rantai mudarat persebaran virus Corona tersebut agar terbebas daripadanya dan dalam rangka saddu�"-�"arīʻah (tindakan preventif) guna menghindarkan kita jatuh ke dalam kebinasaan seperti diperingatkan dalam Al-Quran (Q 2: 195) dan demi menghindari mudarat seperti ditegaskan dalam sabda Nabi saw yang sudah dikutip dalam “Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19,†yang disebut terdahulu," ujar Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Syamsul Anwar dalam keterangannya yang diterima redaksi, Selasa (19/5).
Syamsul mengurai, karena dapat dilaksanakan secara normal di lapangan sebagaimana mestinya, maka shalat Id dapat dilakukan di rumah masing-masing bersama anggota keluarga dengan cara yang sama seperti salat Id di lapangan.
Asa beberapa landasan dasar pelaksanaan Shalat Id di rumah. Di tengah pandemik Covid-19 yang hingga saat ini masih belum diketahui pasti kapan berakhirnya itu.
Pertama, bahwa dalam melaksanakan ajaran agama dasarnya adalah kadar kemampuan mukallaf untuk mengerjakan. Hal itu karena Allah tidak membebani hamba-Nya, kecuali sejauh kadar kemampuannya [Q 2: 286 dan 65: 7] dan apabila diperintahkan melakukan suatu kewajiban agama, maka kerjakan sesuai kemampuan (bertakwa sesuai kemampuan) [Q 64: 16 dan hadis Nabi].
Kedua, dasar pelaksanaan Shalat Id di rumah, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-BukhÄrÄ«, adalah hadis Nabi saw, (Ini adalah hari raya kita, pemeluk Islam’). Meskipun sabab al-wurÅ«d hadis ini adalah masalah menyanyi di hari raya, namun al-BukhÄrÄ« memegangi keumuman hadis ini, bahwa hari Id itu adalah hari raya umat Islam yang dirayakan dengan salat Id, sehingga orang yang tidak dapat mengerjakannya sebagai mana mestinya, yaitu di lapangan, dapat mengerjakannya di rumahnya.
Hadis ini diriwayatkan oleh al-BukhÄrÄ« dengan lafal sedikit berbeda pada dua tempat lain, yaitu hadis nomor 909 dan 3716 dalam á¹¢ahih-nya.
Ketiga, bahwa suatu aktivitas yang tidak diperbuat oleh Nabi saw tidak selalu merupakan hal yang tidak masyruk. Tidak berbuat Nabi saw itu bisa merupakan sunah, yang oleh karenanya tidak boleh disimpangi, dan bisa pula tidak merupakan sunnah sehingga dapat dilakukan.
Maka tidak berbuat Nabi SAW seperti ini merupakan sebuah sunah, yakni sunah tarkiah. tarkiah. Oleh karenanya, menurut Majelis Tarjih, apabila dikerjakan juga, maka tidak masyruk.
"Dengan tidak pernahnya Raslullah SAW mengerjakan salat Id di rumah dapat dipandang bukan merupakan sunah tarkiah, karena tidak ada kebutuhan di zaman beliau untuk salat Id di rumah karena tidak ada halangan, seperti á¹aʻūn (penyakit menular), yang menghalangi beliau untuk shalat di lapangan. Karena bukan sunah tarkiah, maka melakukan salat Id di rumah itu bukan suatu yang tidak masyruk, sebaliknya adalah suatu sah dilakukan," jelas Syamsul Anwar.
Selain itu, Syamsul menjelaskan, pelaksanaan Shalat Id di rumah tidak membuat suatu jenis ibadah baru. Shalat Id ditetapkan oleh Nabi SAW melalui sunahnya. Shalat Id yang dikerjakan di rumah adalah seperti shalat yang ditetapkan dalam sunnah Nabi SAW.
"Hanya tempatnya dialihkan ke rumah karena pelaksanaan di tempat yang semestinya, yaitu di lapangan yang melibatkan konsentrasi orang banyak, tidak dapat dilakukan. Juga tidak dialihkan ke masjid karena halangannya adalah ketidakmungkinan berkumpulnya orang banyak di suatu tempat. Karena terhalang di tempat yang semestinya, yakni di lapangan, maka dialihkan ke tempat di mana mungkin dilakukan, yakni di rumah," tuturnya.
Lebih lanjut, dengan meniadakan salat Id di lapangan maupun di masjid karena adanya ancaman Covid-19 tidaklah berarti mengurang-ngurangi agama. Terlebih, tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya, karena salat Id adalah ibadah sunah.
"Ketika dibolehkan salat Id di rumah bagi yang menghendakinya, pertimbangannya adalah melaksanakannya dengan cara lain yang tidak biasa, yaitu dilaksanakan di rumah, karena dituntut oleh keadaan di satu sisi, dan di sisi lain dalam rangka mengamalkan bagian lain dari petunjuk agama itu sendiri, yaitu agar kita selalu memperhatikan riÊ»Äyat al-maá¹£Äliḥ, perwujudan kemaslahatan manusia, berupa perlindungan diri, agama, akal, keluarga, dan harta benda dan menjaga agar kita tidak menimbulkan mudharat kepada diri kita dan kepada orang lain," demikian Syamsul Anwar.
BERITA TERKAIT: