Di kota ini PWI lahir, dan akan disemangati kembali 27-30 September mendatang.
Di mana-mana menjelang kongres yang menarik adalah isu regenerasi kepemimpinan. Begitu juga dengan PWI.
Dalam setahun terakhir, isu calon ketua umum (Caketum) sudah mengerucut setidaknya empat nama. Semuanya senior, dan bolehlah disebut para Begawan. Ada Atal S Depari, Hendry Ch Bangun, Sasongko Tejo, Ahmad Munir, dan Teguh Santosa. Tak tertutup munculnya calon lain sesaat menjelang acara.
Sebagai organisasi tua, PWI tak pernah kesulitan menemukan kader-kader potensial. Selain berkualitas secara individu, juga memiliki kemampuan
leadership yang sudah teruji. Per individu, semua calon hebat. Minimal dalam pandangan saya. Mungkin orang lain punya pandangan berbeda, dipersilakan.
Dalam beberapa periode kepengurusan, nama-nama itu telah membuktikan diri sebagai pribadi matang dalam organisasi.
Kapal besar yang namanya PWI telah mampu berlayar jauh menembus gegap gempitanya dunia jurnalistik di tataran nasional, maupun internasional. Hanya satu kata yang bisa mewakili mereka itu. Keren!
Musyawarah Mufakat
Diakui atau tidak, menjelang kongres ada manuver-manuver sana sini dari masing-masing calon. Ini biasa dalam dinamika organisasi.
Lalu, itulah kenapa di
Whatssapp Group (WAG) kemarin saya mengusulkan sebisa mungkin dicapai musyawarah untuk mufakat. Tentu bukan tanpa alasan saya menuliskan itu.
Pertama, adalah tantangan eksternal yang sedemikian berat. Kita semua paham, dunia media hari ini sepertinya memasuki periode sunset industry.
Menurunnya performa bisnis media cetak, mengandung konsekuensi menurunnya kualitas produk jurnalistik.
Menurunnya laba perusahaan menjadi kesejahteraan wartawan juga terganggu, dan lain sebagainya. Kedua, tantangan internal.
Kita paham bahwa peningkatan kualitas organisasi dari semua elemen harus dilakukan. Pembenahan struktur, sumber daya manusia (SDM), program, kerja sama, dan lain-lain membutuhkan perhatian lebih saksama, dan intens.
Sekolah jurnalisme, safari jurnalistik, uji kompetensi, adalah sekian dari banyak program untuk peningkatan kualitas SDM wartawan. Telah berjalan sangat baik, meski tetap harus diperbarui terus. Contoh kecil, materi UKW sudah sedemikian lama belum di-
update, konten kurikulum, model-model kerjasama belum sepenuhnya sempurna.
Begitu besar tantangan kita ke depan, termasuk seperti yang saya sampaikan beberapa waktu lalu di WAG tentang datangnya periode
abundance.
Di tengah situasi seperti ini, saya lalu teringat kisah sukses penjelajahan menuju Antartika. Seorang wartawan keren Caroline Alexander menuliskan kisah itu dalam buku yang sangat memukau,
"The Man Who Took the Prize".
Ekspedisi itu melibatkan dua negara besar, yakni Inggris, dan Norwegia. Dua negara yang memiliki tradisi maritim yang hebat. Pertarungan itu, seperti pertarungan-pertarungan yang lain. Adalah soal reputasi dan citra diri. Tetapi lebih jauh dari itu, adalah pertarungan
mindset.
Jika kita bersandar pada teori Christensen (I997), adalah pertarungan antara
disruptive mindset , atau
growth mindset dengan
steady mindset atau dikenal juga sebagai
fixed mindset.
Steady mindset diwakili oleh Inggris, yang memiliki reputasi sebagai negeri paling tangguh dalam dunia maritim.
Amundsen vs ScottDalam ekspedisi The British Nasional Antarctic Expedition ini, Inggris dipimpin oleh Kapten Robert Falcon Scott (43) Seorang tentara pada angkatan laut Inggris.
Sedangkan Norwegia dipimpin seorang penjelajah kenamaan, Roald Engelbergt Gravning Amundsen (38).
Inggris, di bawah kapten Scott dengan kapal lautnya yang kokoh, ditemani 65 orang pilihan, membawa kuda poni, beberapa ekor anjing, dan satu ton logistik. Tujuh belas dari 65 itu turun menjelajahi Antartika.
Sementara, Amundsen membawa 5 orang pelaut untuk turun dari kapal menuju Kutub Selatan. Tetapi, tim kecil ini ditemani perawat anjing untuk beberapa anjing Husky, dan membawa 3 ton logistik.
Perjalanan penuh tantangan, dan tanggal I4 Desember 1911, Amundsen berhasil menancapkan bendera lebih dulu. " Wahai Rajaku, Haakon VII. Thank God". Semua anggota tim selamat!
Sedangkan Scott baru sampai lima minggu kemudian. Dan, tim ini kehilangan kapten dan empat anggotanya.
Kenapa Scott KalahKenapa Scott kalah? Padahal dia datang dari tradisi militer Inggris. Pertama, salah berhitung. Meski kuda poni tangguh membawa beban, tetapi tidak saat di gurun es.
Kedua, mereka membawa anjing, tetapi tidak terlatih. Ketiga, Scott adalah kapten, yang tenda tidurnya saja dipisahkan dari tim. Dia harus dilayani! Ini adalah khas dan wajar dalam tradisi militer Inggris.
Sedangkan Amundsen, Pertama, tim kecil, lincah bergerak. Lalu kedua menyeleksi 52 anjing Husky yang diambil dari Islandia. Sangat terlatih.
Ketiga, logistik lebih banyak. Dan, keempat, Amundsen adalah orang yang mendengar.
Inggris bersandar pada
steady mindset, Norwegia pada
disruptive mindset.
Disruptive mindset semata-mata tidak bersandar pada pengalaman, tetapi lebih menekankan pada keterbukaan menghadapi tantangan masa depan. Berpikiran terbuka.
Sedangkan
steady mindset semata mata bersandar pada pengalaman, dan pengetahuan masa lalu.
Amundsen sadar, tidak ada manusia sempurna. Kesempurnaan dilengkapi yang lain. Keempat rekannya adalah pribadi matang dengan profesionalisme masing-masing.
Nah, dalam sandaran sejarah itulah saya melihat masa depan PWI lewat kongres akhir bulan ini.
Bahwa Amundsen sukses karena dua bekerja sebagai tim, dan mendengar,mendiskusikan, menghargai, dan akhirnya karena dia kapten, maka dialah yang memutuskan.
Tantangan PWI ke depan, saya ibaratkan seperti Antartika. Kita semua belum tahu bagaimana masa depan media, dan wartawan.
Tetapi jika para Begawan kita ini bersikap seperti yang dilakukan tim Roald Engelbregt Gravning Amundsen (38), saya meyakini, eksistensi PWI terjaga dalam kemartabatan yang kuat.
Selamat berkongres!
Hendro BasukiWartawan senior, anggota PWI
BERITA TERKAIT: