Sebelumnya, karya yang mengisahkan kisah percintaan anak muda pada tahun 1950-an itu sukses dengan penerbitan novel.
"Kisah percintaan anak muda dalam novel itu banyak memberikan informasi baru mengenai budaya dan sejarah yang agaknya pemuda-pemudi Karo hari ini melupakan," kata Produser JLaS Production, Berry Sitepu dilansir dari
RMOL Sumut, Kamis (30/8).
Meski sebelumnya ada film yang mengangkat tentang budaya Karo seperti Turang, Piso Surit, Tiga Nafas Likas dan Cahaya Cinta Pesantren, produksi film ini merupakan yang pertama diproduksi secara lokal.
"Sebelumnya produksi film Karo produksi lokal dicetak dalam bentuk DVD dan dipasarkan di toko-toko DVD atau pajak-pajak. Untuk film
Jandi La Surung, setelah launching akan kita screening di 17 kecamatan se-Kabupaten Karo dan sekolah-sekolah. Mulai dari tingkat SD sampai SMA, begitu juga di luar Kabupaten Karo," tutur Berry.
Film lokal garapan bersama ini melibatkan sejumlah sineas muda Karo seperti Jeremia Ginting, Ori Seloko, Roy Manta Sembiring, Simpei Sinulingga, Maman Sitorus, Johannes Ginting, Christian Tarigan, Feri Ipeng Ginting, Wella Sulastri Peranginangin, dan Iqbal Tarigan.
Dalam film
Jandi La Surung yang akan disutradai Ori Semloko ini juga ikut terlibat Kadispora Karo Robert Billy Peranginangin serta Julianus Liem Beng, selaku penasehat dan creative adviser.
Pemerintah Kabupaten Karo pun antusias dengan rencana produksi film
Jandi La Surung yang sudah masuk tahap pencarian lokasi pengambilan gambar. Hanya saja hingga kini belum terwujud pertemuan resmi.
"Saat ini tim produksi
Jandi La Surung juga melakukan pencarian kerjasama kepada donatur dan sponsor untuk mendukung produksi film ini baik dalam pendanaan maupun fasilitas. Hanya saja saat ini belum terealisasi, meski sebelumnya Wakil Bupati Karo, Cori S Sebayang sudah menyatakan mendukung produksi film dan merealisasikan dukungan dana dari kocek pribadinya," demikian Berry.
Jandi La Surung merupakan sebuah Novel karya Muhammad Tempel Tarigan yang diangkat dari kisah nyata perjalanan kehidupan asmara beliau. Novel tersebut juga menyuguhkan kehidupan tradisi budaya Karo di masa lampau yang tidak ditemukan saat ini.
Melalui novel tersebut, pembaca dibawa kembali ke era 50an, dimana masyarakat Karo pada masa itu, masih memegang nilai-nilai luhur kebudayaan mereka.
[rus]
BERITA TERKAIT: