“Kasus ini sudah diketahui sejak tahun lalu, tapi memang belum ada ketegasannya. Grand Indonesia seharusnya bertanggung jawab atas berdirinya Kempinski dan Menara BCA. Ini perlu dikaji lebih lanjut,†kata Direktur Eksekutif
Lembaga Jakarta Research and Public Policy (JRPP), Muhamad Alipudin kepada wartawan.
Pada tahun 2004, kontrak kerja yang ditanda tangani pihak Grand Indonesia atau PT Cipta Karya Bumi Indah untuk pengembangan Hotel Indonesia (PT Hotel Indonesia Natour) diketahui tidak mencakup pembangunan apartemen Kempinski dan Gedung Menara BCA.
Di sini pihak Grand Indonesia sebagai pihak pengelola dengan sistem Build, Operate, Transfer (BOT) saat itu hanya menyepakati untuk merenovasi beberapa lokasi seperti Hotel Indonesia, pembangunan East Mall, Gedung Perkantoran, Apartemen, West Mall, dan perparkiran.
"Sayang sekali, Kempinski dan Menara BCA sudah terlanjur dibangun dan dikelola Grand Indonesia tanpa IMB. Bagaimana bisa pemerintah kecolongan dengan proyek sebesar ini, akibatnya kita kehilangan potensi pajak yang lumayan besar," imbuh Alipudin.
Alipudin menambahkan kerugian yang dialami oleh pemerintah sementara ini mencapai Rp 1,29 triliun. Kerugian tersebut diduga karena tidak diterimanya bagi hasil yang seimbang atau tidak "determinate" pendapatan dari operasional pemanfaatan kedua bangunan tersebut yang dibangun tanpa IMB.
"Kasus ini jangan dibiarkan, seharusnya warga DKI bisa mendapat manfaat dari penerimaan pajak pembangunan tersebut. Apalagi sekarang lahan kota Jakarta sudah banyak dimanfaatkan oleh swasta," sebut Alipudin.
Alipudin memandang perlunya PTSP mengaudit ulang seluruh perizinan hotel dan kawasan strategis seluruh Jakarta ke depannya di tangan kepemimpinan yang baru. Sebab, banyaknya bangunan tersebut juga harus berbanding lurus dengan manfaat yang diterima oleh warga DKI lewat penerimaan pajak.
"Jangan sampai kasus penyelewengan izin ini luput dari tangan pemerintah. Ke depannya, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno harus bisa menyelesaikan ini semua," pungkas Alipudin.
[wid]
BERITA TERKAIT: