Ketua Umum FAKTA Anhar Nasution mengatakan, penerbitan HGB di atas 5 ribu meter persegi harus terlebih dahulu mendapatkan Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dari Pemerintah Daerah (Pemda) DKI yang dilengkapi dengan hasil pengukuran dari kantor pertanahan setempat.
Selain itu, setiap penerbitan sertifikat harus pula dilengkapi berbagai persyaratan ketat dengan
advice planning/RUTR/RT-RW dari Pemda DKI, serta dilampiri dengan akta Perjanjian Pemberian HGB di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dengan investor serta persyaratan lain yang berlaku.
Karena itu, bekas pimpinan Panja Pertanahan Komisi Dua DPR 2004-2009 ini menilai, penerbitan HGB 31,2 Ha di pulau D jelas ilegal.
"Untuk kasus penerbitan sertifikat HGB seluas 31,2 Ha melanggar ketentuan, ditambah lagi kasus pulau pulau reklamasi tengah dalam status moratorium," ujar Anhar.
Kasus ini juga mencerminkan buruknya koordinasi para pembantu Presiden Jokowi karena Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tidak menyetujui proyek reklamasi dan juga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sudah mengeluarkan moratorium. Sementara, BPN justru menerbitkan sertifikat pulau reklamasi.
Menurut dia, kasus reklamasi sudah memakan korban dipenjarakan Direktur Agung Podomoro dan anggota DPRD DKI. Karena itu, dia mencurigai, ada kongkalingkong di balik penerbitan sertifikat tak wajar itu.
"Jika saja kita kalikan harga per meternya mencapai Rp 100 juta per meter persegi maka angka yang didapat oleh developer mencapai 31,2 triliun rupiah," rincinya.
Menurut Anhar, jika sertifikat itu diagunkan kepada pihak ketiga, anggap saja yang disetujui hanya 50 persen, lalu berapa uang yang didapat oleh pengembang sebelum bangunan di atas lahan itu dibangun.
Mencermati kasus ini, Anhar mendesak Presiden Jokowi untuk turun tangan terkait penerbitan sertifikat terutama penerbitan sertifikat HGB seluas 31,2 hektar di pulau reklamasi karena telah mencederai hukum dan rasa keadilan masyarakat.[wid]
BERITA TERKAIT: