"Dengan skala usaha tersebut bisa diketahui seberapa jauh usaha bisa berjalan," jelas Menteri Eko saat melakukan audience dengan semua kepala desa se-Kabupaten Ponorogo, di pendopo kabupaten, Senin (26/9).
Desa-desa yang ada di Ponorogo misalnya. Menurutnya, kabupaten yang kondisi fisik bergunung-gunung ini, memiliki faktor pendukung untuk peningkatan usaha komoditas tertentu. Jika jagung yang diproduksi hanya seratus ton, tidak mungkin akan dibangun mesin produksi paska panen. Soalnya tidak ada kontinuitas produksi.
"Oleh karena itu, one village one product, sangat mengharapkan adanya kefokusan usaha, khususnya Bumdes," ujar Eko Sandjojo.
Apalagi Kabupaten Ponorogo memiliki 281 desa dari 21 kecamatan ini tentu tak hanya berharap dari dana desa. Namun bukan hal yang mustahil dari 281 desa tersebut muncul beberapa desa yang mampu mengelola Bumdesa dengan sangat baik.
"Saat ini ada 231 dari 281 desa yang telah memiliki Bumdesa. 800-1,6 miliar adalah gabungan dari dana desa serta dana kabupaten dan propinsi tiap desa pertahun. Itu jumlah besar, dan masyarakat desa yang tahu kebutuhan di desanya sendiri," jelas menteri yang menyukai warna biru.
Artinya, menurut Eko Sandjojo, jika Bumdesa bisa fokus mengelola satu komoditas hingga mengelola usaha paska panen, maka yakinlah bahwa OVOP bisa berhasil.
Keberhasilan suatu desa, jika itu terwujud, akan menarik usaha lain seperti perbankan yang malah menawari biaya untuk kredit usaha, baik bagi perorangan maupun untuk Bumdesa.
"Intinya fokus, terapkan skala ukur usaha. Dengan model seperti ini saya yakin ini Bumdes bisa menjadi holding. Ini harus diikuti dengan pelatihan manajemen, administrasi maupun marketingnya," jelas Eko Sandjojo yang berpesan agar ego sektoral dihilangkan.
[zul]
BERITA TERKAIT: