Pemerintahan Joko Widodo menargetkan pembangkit tersebut akan beroperasi pada 2019 dipastikan meleset dari jadwal semula.
"Saya akan potong kambing kalau bisa diselesaikan tepat waktu," kata Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI) Ferdinand Hutahaean pada diskusi Energi Kita, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa (30/8).
Dia menjelaskan, satu dari sekian banyak masalah adalah pola PLN dalam mencari investor atau pengembang. Selama ini, PLN selalu menggunakan pola pra kualifikasi dalam mencari pengembang yang membutuhkan waktu lama. Padahal, harusnya bisa dilakukan melalui beauty contest yang lebih singkat namun tetap efektif dalam menjaga kualitas pemenang.
Kondisi tersebut diperparah dengan kualitas dan kemampuan tim kerja yang sangat rendah. Terbukti, bahwa untuk membuat dokumen data tender saja perlu waktu waktu sangat lama.
"Pemerintah, dalam hal ini PLN sebagai eksekutor tidak melakukan pola-pola yang menurut kita akan mampu memenuhi target 35 ribu MW," kata Ferdinand.
Beberapa contoh kegagalan PLN itu sendiri bisa dilihat dari beberapa proyek yang ada. Yang gagal tender misalnya PLTU Jawa V (2.000 MW), PLTU Sumsel IX (1.200 MW) dan Sumsel X (600 MW), PLTMG Pontianak (100 MW), serta PLTG Scattered (180 MW). Sedangkan PLTU Jawa VII (1.200 MW) dihadang isu GCG, yaitu pelanggaran proses tender, di mana saat penawaran, pemenang tidak memasukkan harga EPC.
Selain itu, juga secara teknis, tidak bisa dilaksanakan menghadapi isu reklamasi. Sementara yang mengalami penundaan adalah PLTGU Riau (250 MW), PLTGU Jawa Bali III (500 MW), dan PLTGU Jawa I (1.600 MW). Untuk proyek PLTGU Jawa I, PLN telah melakukan perpanjangan jadwal bid submission dua kali. Yaitu 5 Mei 2016 menjadi 25 Juli 2016 dan kemudian menjadi 25 Agustus 2016.
Akibat carut-marut itu, pengamat kebijakan energi Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Wicaksono juga memastikan bahwa mega proyek pembangkit tersebut tidak akan tercapai. Paling tidak terdapat 12 ribu MW pembangkit yang tidak akan tepat waktu. Hal itu terjadi, antara lain karena pengadaan yang tidak terencana dengan baik.
"Misalkan ada lelang yang tiba-tiba dibatalkan padahal prosesnya sudah memakan waktu sangat lama," kata Agung yang juga mantan Wakil Ketua Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UKP3N) Kementerian ESDM.
Kegagalan dalam lelang tentu berdampak luas. Pasalnya, pada proyek ini sebenarnya terdapat dua jenis fase yang berbeda karakteristiknya. Pertama adalah pekerjaan yang fasenya bisa pendek atau terlambat, yaitu fase pelelangan dan fase perizinan. Dan, kedua adalah pekerjaan yang fasenya sudah pasti, yaitu fase konstruksi. Misalnya untuk membangun PLTU sudah pasti membutuhkan waktu minimal 40 bulan, sedangkan PLTG mungkin lebih cepat yaitu satu tahun.
"Jadi kalau untuk fase pelelangan saja ternyata sudah sangat terlambat seperti sekarang, akibatnya semua proyek akan terlambat," kata Agung.
Dari berbagai ketidakmampuan PLN itulah maka menurut Agung sangat aneh, ketika tiba-tiba PLN justru ingin mengakuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).
"Lebih baik PLN fokus pada tugas pokoknya. Juga fokus pada transmisi, distribusi, atau juga fokus pada transformasi perusahaan agar lebih fokus pada pelanggan," jelasnya.
Sementara, anggota Komisi VII DPR Ramson Siagian menambahkan, dari target 35 ribu MW diperkirakan hanya bisa terealisasi sebesar 16 ribu MW pembangkit listrik. Karena masih banyak pembangunan yang mangkrak di berbagai daerah.
Ironisnya, banyak data yang ternyata bertentangan dengan kondisi di lapangan. Di Bengkulu, misalnya, Komisi VII DPR menemukan bahwa proyek tersebut masih berupa tanah kosong. Bahkan infrastruktur jalan menuju lokasi pun masih rusak. Padahal, dalam laporan tertulis, PLN justru menyebut bahwa proyek tersebut sudah berjalan dan seolah-olah sudah bagus.
"Akhirnya kami menegur direktur PLN untuk wilayah Sumatera," Ramson.
Lain lagi dengan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Rinaldy Dalimi yang mengatakan, masalah paling mendasar yang dihadapi adalah pembebasan lahan. Memang, jika dibangun PLN maka bisa paralel dengan pembebasan lahan dan financial closing.
"Hanya dilemanya, PLN ternyata tidak punya cukup uang," ujarnya.
Itu sebabnya, jika proyek bisa selesai setengah saja dari dari 35.000 MW maka pencapaian tersebut sudah cukup baik.
[wah]
BERITA TERKAIT: