Penertiban bangli itu didahului proses negosiasi atau pendekatan persuasif terhadap penghuni yang bermukim di atas lahan seluas 150 meter milik Dinas Bina Marga DKI tersebut.
"Ajak ngobrol, ngopi. Tidak langsung gusur," ungkap Camat Gambir, Fauzi, yang sempat melakukan pemantauan terakhir pada Selasa lalu (12/7).
Menurut Fauzi, pihaknya melalui kelurahan telah menyurati warga terkait rencana penertiban.
Namun, surat saja tidak cukup. Warga tetap perlu ditemui langsung untuk melakukan pendekatan persuasif.
"Kalau saya begitu, biar lebih humanis," ungkapnya.
Biasanya, Fauzi akan mendatangi lingkungan warga yang akan ditertibkan untuk sekadar "ngopi" bersama. Bahkan, mereka berbincang di lokasi yang bakal ikut dibongkar.
Sambil menikmati kopi, Fauzi memberi penjelasan kepada warga soal pentingnya penertiban tersebut.
Seperti yang dilakukan Fauzi di warung milik Sumiyati (60), beberapa hari lalu.
"Kami (Pemerintah) jelaskan ini bukan maunya kita. Memang sudah peraturan enggak boleh gunakan tanah pemerintah. Pelan-pelan saja dibilangin sambil ngopi. Biasanya mereka kooperatif," jelas Fauzi.
Fauzi juga mengaku mengenal lokasi penggusuran tersebut karena pernah beraktivitas di sana saat masih sekolah.
Dulu di era 1990-an, kata Fauzi, di lokasi tersebut sempat berdiri SPBU. Akhirnya muncul bangli hingga warung makan beromset Rp 18 juta per bulan milik Sumiyati.
"Di sini dulu, Pom Bensin (SPBU), tahun 90-an. zaman sekolah dulu, saya sering main ke rumah teman-teman daerah Gambir dan Tanah Abang," kenangnya.
Sebelumnya, dengan jurus yang sama, Fauzi telah membongkar 450 bangunan kumuh yang berada tepat di seberang pedagang kayu di Jalan Subur Baru.
Padahal, pemukiman itu dulu hampir membentuk gang sendiri. Namun, lewat "diplomasi kopi", pembongkaran bangli dapat dilakukan tanpa tindakan represif.
"Butuh waktu panjang. Tapi, terbukti membuahkan hasil. Bahkan, mereka malah bongkar sendiri. Kami juga enggak capek," ucapnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: