Namun warga yang pro RTB membantah klaim tersebut. Salah seorang di antaranya I Wayan Joni. Dia membeberkan salah satu bukti saat diskusi yang diselenggarakan ForBali, kelompok penolak RTB, pada Sabtu (31/10) lalu di Sanur, Bali. Tak tanggung-tanggung, narasumber yang dihadirkan adalah pengamat media dan komunikasi dari Curtin University Australia. Tapi nyatanya acara itu hanya dihadiri 25 orang peserta, yang mayoritas berasal dari luar Sanur.
"Masyarakat Sanur sendiri yang hadir paling 2-3 orang. Bagi saya itu lucu kalau mereka klaim masyarakat Sanur mayoritas menolak revitalisasi," kata I Wayan Joni dalam rilis yang diterima redaksi, Rabu (3/11).
Dia pun ikut hadir pada diskusi tersebut. Menurut Joni kehadirannya di sana memang disengaja dan tujuannya untuk memberitahu bahwa ada warga Sanur yang berbeda sikapnya, yakni setuju revitalisasi.
"Saya duduk paling depan, dengan kaos bertuliskan pendukung revitalisasi. Motor saya juga dihiasi dengan tulisan pendukung revitalisasi," ungkapnya.
Pihak penyelenggara diskusi lantas menghampirinya dan menyatakan kagum karena sebagai pendukung revitalisasi mau berkenan hadir. Tapi anehnya, gara-gara dirinya hadir, pihak panitia mempercepat jadwal diskusi.
"Saya tidak punya kesempatan bertanya, padahal pertanyaannya yang akan saya sampaikan sangat sederhana, yakni kalau benar peduli lingkungan, sudahkah mereka membuang sampah pada tempatnya? Sudahkah mereka mengambil sampah yang menumpuk di Teluk Benoa?" tanya Joni.
Selain itu, ia juga ingin menanyakan alasan mereka hanya fokus pada reklamasi Teluk Benoa. Sementara di wilayah Bali lainnya yang sudah dan akan direklamasi justru didiamkan.
Joni pun menegaskan, sebetulnya banyak masyarakat Sanur yang setuju dengan RTB, karena revitalisasi sudah berdasar kajian akademik yang bisa dipertanggungjawabkan.
"Warga Sanur tidak bisa diprovokasi apalagi dibodoh-bodohi soal revitalisasi yang bisa merusak lingkungan. Revitalisasi itu justru menjaga lingkungan," ucap Joni.
Menurut Joni, mereka yang menolak RTB itu hanya di selebaran, spanduk, baliho, kaos, dan media sosial. Mereka juga sebetulnya tidak memiliki massa, hanya segelintir orang yang menyatakan menolak.
"Sisanya, ikut menolak karena diimingi-imingi. Buktinya, diskusi saja hanya 25 orang. Jadi kami pikir alasan mereka menolak sangat tidak masuk akal," demikian Joni.
[wid]