Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mestinya punya kebijakan bagaimana mengelola PKL tanpa mengorbankan fasilitas publik.
Dari pengamatan
Rakyat MerÂdeka, hampir di setiap sudut JaÂkarta hingga kini masih dipenuhi PKL. Mereka pada umumnya berÂada di tempat-tempat keraÂmaian dengan memanfaatkan fasilitas publik sebagai tempat berdagang. Mulai dari trotoar, halte bus hingga jembatan peÂnyeberangan orang.
Di kolong
flyover Jalan Raya Bogor, Pasar Rebo, Jakarta TiÂmur, puluhan PKL mencari rezeki di persimpangan jalan yang padat lalu lintas kendaraan maupun orang ini. Mereka memanfaatkan fasilitas publik seperti trotoar, untuk berdagang. Bahkan ada juga yang tempat berdaÂgangÂnya menggunakan sebagian jalan.
Pada pagi hari, para PKL meÂmang tidak terlalu terlihat ramai, hanya pedagang asongan yang ramai berlalu lalang. Namun, menjelang sore menuju malam, mulai terlihat pergerakan para PKL mempersiapkan dagangan.
Barang dagangan yang ada di sana bisa dibilang komplit. Apa yang dibutuhkan masyarakat umumnya ada. Mulai dari maÂkanan, minuman, pakaian, sepatu hingga alat-alat elektronik.
Risa, seorang warga yang biasa lewat di Pasar Rebo, menilai keberadaan PKL diakui ada baik dan buruknya. Baiknya, menuÂrutnya, bisa mencari barang-baÂrang yang diperlukan sekalian leÂwat. Harganya pun cenderung leÂbih murah. “Nggak enaknya, yang seperti ini makin ramai dan bikin macet,†katanya.
Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna mengatakan, untuk menjaga estetika kota dan mengurangi kemacetan, penataan PKL dinilai harus bersinergi dengan penempatan yang tepat, sekaligus juga perilaku pembeli yang sesuai. "Ada baiknya PKL tidak ditempatkan di lokasi yang sudah padat, ada sumber kemaÂcetan, apalagi yang di sentra ekonomi primer, seperti contohnya di Tanah Abang," ujarnya.
Yayat mengatakan, meski hal tersebut sering terjadi di Jakarta, dimana gulanya banyak di situ ada semutnya, tapi tetap saja harus dihentikan.
"Sekarang, pembeli juga harus ditata. Pembeli harus datang ke pasar, tidak boleh datang di sembarang tempat. Ada Perda-nya juga kok," tegasnya.
Selama ini, lanjut Yayat, banyak PKL yang kesulitan berjualan di pasar. Selain karena harus membayar harga sewa mahal, pembeli yang datang ke pasar pun sedikit. Namun hal itu juga disebabkan salah satunya karena faktor pengelolaan pasar yang belum maksimal.
"Pasar harus dikelola, temÂpatkan pasar-pasar di dekat taman, sungai. Pujasera (pusat jajan serba ada) harus dihidupkan kembali. Dengan pengelolaan seperti itu, ada tujuan untuk menghargai baik penjual maupun pembeli," jelasnya.
Selain itu, lanjut Yayat lagi, pedagang juga harus diajarkan untuk bisa bersih.
Pengelola jangan hanya mau memungut uang saja, namun tidak mau berkoordinasi dengan pedagang. “Kalau pasar kotor dan becek, siapa yang mau datang? PengeÂlola pasar harus berubah. Jangan juga pasar lebih banyak preman daripada pengelolanya," tandasnya.
Berkaitan pasar tradisional, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, saat ini di Jakarta terdapat 153 pasar tradisional dan 20 lokasi binaan (lokbin). Namun yang tertata dengan baik baru 15 persen, sementara 85 persennya masih perlu penataan lagi.
"Kondisi demikian jika tidak segera dibenahi, maka akan tergilas oleh pasar modern dan menambah kesemrawutan lalu lintas," cetus bekas Walikota Solo yang sukses mengelola ribuan PKL.
Didata Dulu Agar Tidak Membludak Saat Relokasi
Penataan pedagang kaki lima (PKL) di Jakarta menjadi salah satu program yang dicanangkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Namun, pelakÂsanaannya terpaksa ditunda, karena Pemerintah Provinsi (PemÂprov) DKI Jakarta akan menÂdata terlebih dulu jumlah PKL yang ada di Jakarta.
Salah satu upaya Jokowi membuat Ibukota bersih dan tertib yakni dengan menata PKL. Kenyataannya, memang tak semudah membalik telapak taÂngan. Apalagi untuk kota seÂbesar Jakarta. Dia mengaku tidak mau tergesa-gesa merealisasikan penataan PKL.
Meski sudah ada target yang harus dicapai, namun Jokowi jusÂtru menunda sementara penataan PKL. Ia akan mendata dulu angka pasti jumlah PKL di Jakarta agar tidak membludak saat direlokasi. Sebab, dikhawaÂtirkan PKL yang telah mendapatÂkan bantuan justru akan mengÂajak sanak saudaranya datang ke Jakarta.
Saat ini, Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan PerÂdagangan (KUMKMP) DKI JaÂkarta sedang melakukan pendaÂtaan sehingga nantinya bisa diketahui jumlah pasti PKL di Jakarta. Karena hanya PKL yang sudah menetap lama saja yang akan dilakukan penataan.
"Kami belum berani melakuÂkannya lagi. Karena dikhaÂwaÂtirkan dengan memberikan geroÂbak dan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) gratis ini, akan dibaca oleh PKL lainnya, sehingga mereka akan mengajak sanak saudara di kampung untuk datang ke Jakarta," ujar Jokowi.
Setelah pendataan selesai, lanjut bekas Walikota Solo ini, pihaknya baru akan kembali meneruskan penataan PKL di Jakarta. Karena pihaknya tidak ingin dengan penataan ini, jumlah PKL justru meningkat. "Kami hentikan dulu, karena kami ingin mendata, lalu kita kunci. Agar datanya tidak membludak," katanya.
Untuk penataan dan relokasi PKL, Jokowi menambahkan, selain menggunakan dana APBD, Pemprov DKI Jakarta juga akan menggandeng pihak swasta untuk mengucurkan dana melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (
Corporate Social Responsibility/CSR).
Nantinya Pemprov DKI JaÂkarta akan menyediakan lokasi dan pasar khusus PKL. Selain untuk mengurangi kemacetan, langkah ini juga dibuat untuk menghilangkan kesan kumuh di sebagian wilayah Jakarta. [Harian Rakyat Merdeka]
BERITA TERKAIT: