Angkutan umum seperti mikrolet atau angkutan bus kecil, seharusnya sudah tidak ada sejak lima tahun lalu. Kapasitasnya kecil dan manajemennya pun buruk. Cuma bikin macet lebih parah saja.
Pengamat transportasi publik dari Universitas Atma Jaya Djoko Setijowarno mengatakan, mikroÂlet sebenarnya sudah tidak layak lagi beroperasi di Jakarta. PasalÂnya, kapasitas mikrolet hanya terÂbatas untuk 12 orang dan ikÂlim di Jakarta sekarang panas.
“Jumlahnya tidak seimbang deÂngan penumpang. Harusnya suÂdah sejak lima tahun lalu mikÂrolet tidak ada,†ujarnya, kemarin.
Padahal, lanjut Djoko, Jakarta merupakan kota besar yang saÂngat sibuk. “Solusinya, angÂkuÂtan berkapasitas sedikit terÂseÂbut haÂrus dihilangkan secara berÂÂtahap oleh siapapun yang akan menÂjadi Gubernur DKI JaÂkarta terÂpilih nanti,†tegasnya.
Pemerintah, katanya, dapat mengÂÂganti bus mini atau Kopaja dengan angkutan yang leÂbih baik dan besar. “Kalaupun angkot teÂtap diÂgunakan, Dinas PerhuÂbuÂngan haÂrus melakukan pengaÂtuÂran rute sehingga angkot tidak boÂleh meÂlalui jalan utama,†katanya.
Selain itu, kata Djoko, angÂkuÂtan bus kecil seperti mikrolet meÂÂrupakan kendaraan yang dimiÂliki secara pribadi. SemenÂtara angÂkuÂtÂan umum harus berÂbadan huÂkum. Akibatnya, di laÂpangan suÂlit dilakukan pengaÂturan.
“Pemberian subsidi oleh peÂmerintah jadi susah, sebab sopir angkot juga tidak terdata. IntiÂnya, angkutan umum harus berÂbadan hukum,†ungkapnya.
Dengan demikian, pemerinÂtah dengan mudah melakukan penÂdataan, pembinaan, maupun pemÂberian subsidi. Kasus keÂjahatan di mikrolet pun, kata Djoko, lebih banyak dibanding di bus TransÂjakarta. Dia menÂconÂtohkan kasus pemerkosaan yang kerap terjadi di angkot. Sementara di TransÂjakarta hal ini tak pernah terjadi.
“Akibat manajemen pribadi tersebut, kesemrawutan di jalan akibat mikrolet yang suka semÂbarangan menaikkan atau meÂnuÂrunkan penumpang menjadi suÂsah diatur,†katanya.
Menanggapi hal ini, Ketua OrÂganisasi Angkutan Darat (OrÂganÂÂda) Soedirman mengaÂtakan, jika angkutan dilarang yang diÂkorÂbankan adalah maÂsyarakat meÂnengah ke bawah. AngÂkot pada dasarnya meruÂpakan angÂkutan di pinggir kota. “MaÂsyaÂrakat, terÂmaÂsuk anak sekoÂlah akan keÂbinguÂngan,†kilahnya.
Menurut Soedirman, jika angÂkutan kecil dilarang, belum menÂjamin kesemrawutan di jalan akan hilang. Justru, tak berÂoperaÂsinya sejenis mikrolet akan meÂngÂubah paradigma masyarakat untuk berupaya membeli sepeda motor. Meski sebenarnya secara ekonomi mereka belum siap. “EfekÂnya, jumlah sepeda motor akan meningkat,†katanya.
Sedangkan penggantian deÂngan angkutan lainnya, seperti Metromini tidak bisa diandalÂkan. Metromini atau Kopaja yang meÂrupakan jenis angkutan massal tidak bisa melewati jalan antar kampung atau jalan Kelas III dan IV. Dia mencontohkan, ukuran bus sedang tidak bisa masuk jalan di lokasi tempat tinggalnya di Kelapa Gading.
Soedirman mengatakan, pemeÂrintah harus tegas menegakkan aturan persyaratan angkutan umum harus berbadan hukum. Kalau memang tidak memenuhi persyaratan, angkot tidak boleh diberi izin jalan. NaÂmun, di laÂpaÂngan banyak yang mengÂajukan permohonan izin perÂoraÂngan yang malah bisa lolos.
Selain itu, pihaknya mengaku tidak bisa berbuat banyak dalam upaya penegakan disiplin berlalu lintas. Menurutnya, meskipun OrÂganda melakukan sosialisasi atau pembinaan, tak akan digubÂris oleh anggotanya. AngÂgoÂtaÂnya lebih memilih menyeÂlesaiÂkan keÂpentingannya ke DiÂnas PerhuÂbungan daripada meÂlaÂlui OrganÂda terlebih dahulu.
Jumlahnya Diturunkan, Kapasitasnya Ditambah
Ketua Umum DPP OrganiÂsasi Angkutan Darat (Organda) Eka Sari Lorena mengatakan, akan merevitalisasi angkutan umum yang ada di Jakarta. NanÂtinya, revitalisasi tranÂsporÂtasi umum bukan hanya meÂreÂmajakan arÂmada, namun juga meÂnurunkan jumlahnya serta meÂningkatkan kapasitasnya.
“Artinya, angkutan umum yang kecil diganti dengan bus ukuÂran besar. Untuk ini harus diprioÂritaskan dulu di Jakarta. Hal ini karena banyak armada yang suÂdah tua dan tidak terÂawat. JumÂlah penumpang juga tidak seimÂbang dengan armada, terutama penumpang angkot yang banyak beralih ke angÂkuÂtan pribadi, khuÂsusnya sepeda motor,†ujar Eka.
Berdasarkan perhitungan OrÂganda, satu bus dapat mengganÂti empat angkot. Kapasitasnya beÂsar. Untuk memulai upaya reÂÂviÂtalisasi itu, perlu dibuat keÂseÂpakatan bersama dengan peÂnguÂsaha angkot atau bisa diÂbuat konÂsorsium usaha.
Namun, untuk memperbaiki angkutan umum penumpang yang jumlahnya sekitar 500 ribu unit, ibukota perlu anggaran Rp 8 triliun. Dia menjelaskan, seÂbeÂlumnya pemerintah telah meÂÂnyeÂtujui pengucuran dana bantuan sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar miÂnyak (BBM) senilai Rp 4,7 triÂliun dari rencana Rp 9 triliun.
“Karena harga BBM tidak jadi dinaikkan, dana bantuan batal dikucurkan. Padahal, pemerintah seharusnya tetap mengucurkan dana bantuan untuk mereviÂtaliÂsasi angkutan umum karena meÂmang dibutuhkan,†katanya.
Program revitalisasi itu, lanjut Eka, juga akan dapat mengurangi kecelakaan dan kemacetan kaÂrena mendorong pengurangan penggunaan kendaraan pribadi.
“Pengucuran dana bantuan sebenarnya merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap angkutan umum. Di kota-kota besar, memang sudah saatnya mengÂgunakan angkutan massal. Kendaraan kecil untuk angkot seperti sekarang hanya menamÂbah kemacetan,†akunya.
Eka menegaskan, kebutuhan peremajaan armada angkutan umum tergolong mendesak. SeÂlain dana bantuan, pemerintah seÂmestinya memberikan subsidi bunga kredit untuk peremajaan armada. “Dana 4,7 triliun ruÂpiah setidaknya mampu mereÂmaÂjakan 50 persen angkutan umum di JaÂkarta,†ucapnya.
Masalah lain yang dihadapi peÂngusaha angkutan adalah maÂsih tingginya pungutan liar (pungli). Setiap hari, pungli haÂrus dihadapi operator angkutan umum, mulai dari terminal hingÂga jalan. Selain oknum petuÂgas beratribut resmi, pungli juga diÂlakukan oleh preÂman. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: