Nasib Buruh Kontrak Di Jabotabek Memprihatinkan

Perda Perburuhan Dicuekin, Outsourcing Rugikan Pekerja

Jumat, 09 Desember 2011, 08:26 WIB
Nasib Buruh Kontrak Di Jabotabek Memprihatinkan
ilustrasi, buruh pabrik

RMOL. Sistem outsourcing yang diterapkan pada buruh, termasuk di kawasan Jabodetabek, bisa jadi bumerang bagi kaum buruh. Pengusaha bisa

semena-mena, kesejahteraan kaum buruh pun memprihantinkan. Peraturan Daerah (Perda) perburuhan masih dicuekin.

Menurut pengamat perbu­ruhan dari Universitas Indonesia (UI) Aditya Haditama, kebijakan outsourcing bisa di­imbangi de­ngan keseimbangan upah mini­mum regional (UMR) yang tak jauh beda antar pe­rusahaan.

Selain itu, sambungnya, ada­nya perbedaan upah antar dae­rah, biasanya mengakibatkan terja­di­nya migrasi tenaga kerja, dari tem­pat kerja dengan upah rendah me­nuju daerah upah yang tinggi. Hal itu dia kha­wa­tirkan akan sangat mem­baha­yakan ke­hidupan ekonomi kedepannya.

“Yang terpen­ting sebenarnya adalah mena­nam­kan kesadaran kepada para pe­laku usaha agar me­nganggap te­naga kerja se­bagai aset. Bila ti­dak, akan sa­ngat ber­bahaya. Karena pelaku usaha ti­dak akan memperhatikan kondisi tenaga kerja,” kata Aditya di Jakarta, kemarin.

Sedangkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nawawi Asmat menilai, terjadinya peningkatan pe­ruba­han status kerja dari pe­kerja tetap menjadi pekerja out­sour­cing, lebih banyak me­rugikan pekerja.

“Perubahan status kerja itu ter­jadi justru pada industri padat karya yang memproduksi pa­kai­an jadi, sepatu, elektronika, ma­kanan dan minuman. Semua tan­pa pengawasan sehingga banyak menyalahi aturan PKWT (pe­kerja kontrak waktu tertentu -red),” terang Nawawi.

Hasil kajian LIPI, jelas Nawa­wi, terjadi peningkatan luar biasa jumlah perusahaan penya­lur te­naga kerja. Baik berbentuk PT, yayasan, koperasi, CV dan per­seorangan yang tidak disertai pengawasan ketat dalam aturan kontrak kerjanya. “Jumlahnya kini mencapai 1.200 perusahaan, dan 80 persen di antaranya perusahaan abal-abal,” katanya.

Menurut Nawawi, dalam prak­tik­nya, terjadi pembiaran pe­lang­garan aturan PKWT. Se­perti me­langgar ketentuan jenis pe­kerjaan yang boleh dilak­sanakan dengan PKWT, jangka waktu kontrak, serta minimnya penga­wasan dan penindakan atas pelanggaran itu.

“Semua itu berakibat pada ma­kin menurunnya kesejahteraan pekerja. Juga tidak terjamin ke­pastian kerja, upah yang ren­dah dan meningkatnya biaya penca­rian pekerjaan,” katanya.

Di negara maju, kata Nawawi, tidak semua perusahaan bisa seenaknya mempekerjakan tena­ga kontrak. Sebab, setiap pe­nambahan pekerja kontrak harus dikonsultasikan dulu dengan se­rikat pekerja di perusahaan itu.

“Di Austria, serikat pekerja dan manajemen mengatur pe­kerjaan apa yang bisa dilakukan tenaga kontrak dan pada posisi apa. Di sini, begitu bebasnya aturan te­naga kontrak. Bahkan sekarang sudah masuk pada pekerjaan staffing yang masuk pekerjaan pokok,” katanya.

Nawawi menegaskan, aturan PKWT itu sudah cukup ketat. Namun, karena lemahnya penga­wasan dan penindakan pelang­garan aturan PKWT, jumlah PKWT terus mem­bengkak dan merambah ke pe­kerjaan utama sebuah usaha.

“Ini perlu pembenahan serius. Baik dari sisi jumlah dan kualitas petugas. Juga diperlukan standar prosedur proses penyelesaian masalah, sesuai aturan hukum, baik pidana maupun perdata,” tukas Nawawi. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA