Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pernyataan Kapuspenkum Harli Siregar Intimidatif

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Kamis, 13 Maret 2025, 10:44 WIB
Pernyataan Kapuspenkum Harli Siregar Intimidatif
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar/Ist
rmol news logo Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar dianggap menyampaikan pernyataan intimidatif dan mengabaikan hak dan kewajiban masyarakat untuk terlibat aktif dalam pemberantasan korupsi.
Selamat Berpuasa

Hal itu disampaikan Koordinator Koalisi Sipil Selamatkan Tambang (KSST), Ronald Loblobly merespons pernyataan Kapuspenkum Kejagung yang menyatakan "siapapun yang melaporkan jaksa atas dugaan tindak pidana korupsi akan berhadapan dengan instansi kejaksaan".

"Itu merupakan sikap yang bertentangan dengan prinsip hukum, transparansi, dan partisipasi publik yang dijamin konstitusi dan perundang-undangan Indonesia," kata kata Ronald dalam keterangan tertulisnya, Kamis 13 Maret 2025.

Menurut Ronald, pernyataan Kapuspenkum tidak hanya bersifat intimidatif, tetapi juga mengabaikan hak dan kewajiban masyarakat untuk terlibat aktif dalam pemberantasan korupsi.

Ronald yang juga pelapor dugaan tindak pidana korupsi Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Adriansyah ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menjelaskan, masyarakat dilindungi konstitusi dalam melaporkan dugaan tindak pidana.

Di mana, pada Pasal 28 UU 1945 menjelaskan jaminan hak setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat, termasuk melaporkan dugaan pelanggaran hukum. 

Selain itu, Pasal 28D Ayat 1 UU 1945 juga menegaskan, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.

"Ancaman dari institusi negara terhadap pelapor bertentangan dengan hak konstitusional ini," tegas Ronald.

Selain itu, dalam UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menguatkan hak partisipasi masyarakat. Pada Pasal 23 menyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk turut serta dalam pemerintahan, termasuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan yang berpotensi merugikan kepentingan publik.

Selanjutnya, kata Ronald, masyarakat juga memiliki kewajiban hukum untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi sesuai dengan UU 31/1999 Juncto UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang secara eksplisit mengatur peran masyarakat.

Pasal 41 UU Tipikor menyatakan, bahwa masyarakat berhak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi serta berpartisipasi dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. 

Bahkan, Pasal 11 UU 30/2002 tentang UU KPK mewajibkan setiap orang yang mengetahui tindak pidana korupsi untuk melaporkan kepada penegak hukum.

"Dengan demikian, pelaporan oleh Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi bukan hanya hak, tetapi kewajiban moral dan hukum yang diamanatkan UU," kata Ronald.

Ronald menegaskan bahwa ancaman terhadap pelapor melanggar prinsip perlindungan whistleblower. Pada UU 13/2006 yang telah diubah dengan UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menjamin perlindungan hukum bagi pelapor (whistleblower) dari intimidasi, ancaman, atau tindakan balasan. 

Pasal 5 UU tersebut juga menyatakan bahwa saksi dan pelapor berhak mendapat perlindungan fisik, psikis, dan hukum.

Selain itu, Peraturan KPK 7/2020 tentang Perlindungan Pelapor dan Saksi mempertegas kewajiban negara untuk memastikan keamanan pelapor.

"Pernyataan Kapuspenkum yang bernada mengancam pelapor justru melanggar mandat UU ini dan berpotensi menghambat upaya pemberantasan korupsi," kata Ronald.

Selain itu, Ronald pun menyinggung soal keterbukaan informasi pun sebagai pilar pengawasan sebagaimana UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menjamin akses masyarakat terhadap informasi penyelenggaraan negara, termasuk proses hukum di Kejagung. 

Pada Pasal 4 UU tersebut menegaskan bahwa informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses, kecuali yang dikecualikan UU.

"Sikap Kejaksaan Agung yang terkesan menutup diri dari kritik dan laporan publik bertentangan dengan prinsip ini," kata Ronald.

Untuk itu kata Ronald, Kejagung harus menjadi contoh integritas, bukan malah mengancam pelapor. Sebagai lembaga penegak hukum kata Ronald, Kejagung seharusnya mengutamakan prinsip akuntabilitas dan transparansi, bukan menggunakan otoritasnya untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat.

"Jika terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Jampidsus, Kejaksaan Agung wajib melakukan pemeriksaan internal secara independen dan berkoordinasi dengan KPK, bukan justru berstatement yang berintonasi mengintimidasi pelapor," kata Ronald.

Ronald pun menyampaikan beberapa tuntutan kepada Kejagung. Pertama, pernyataan Kapuspenkum harus ditarik karena bertentangan dengan hukum dan berpotensi meredam partisipasi public.

Kedua, Kejagung wajib mengusut dugaan pelanggaran oleh Jampidsus secara independen dan terbuka. Ketiga, Kejagung harus segera berkoordinasi dengan KPK sebagai lembaga yang berwenang menangani laporan korupsi aparat penegak hukum. Keempat, Kejagung harus menjamin keamanan bagi pelapor dan koalisi sipil yang telah menjalankan kewajiban konstitusional.

"Masyarakat tidak boleh takut untuk melapor. Pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab bersama, dan ancaman dari institusi penegak hukum hanya akan memperkuat budaya impunitas," kata Ronald. 

Kejaksaan Agung harus menjadi garda terdepan dalam memastikan keadilan, bukan membela kelompoknya sendiri. Bukan sebaliknya membungkam suara rakyat sipil," pungkas Ronald.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA