"Terkait langkah Jaksa Agung menyikapi salah satu kebijakan pemerintah pusat untuk menggencarkan upaya pemberantasan mafia tanah, menggugah kami untuk semakin menyempurnakan niat baik tersebut," ucap Direktur Eksekutif P2T2, Arman Suleman, dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (16/11).
Kebijakan itu, menurut Arman, menjadi hal krusial sebab sepak terjang para mafia tanah sudah sangat meresahkan proses pembangunan nasional. Bahkan telah memicu terjadinya banyak konflik sosial yang berujung pada pertumpahan darah di banyak wilayah.
Dirinya menilai Jaksa Agung mensinyalir mafia tanah telah membangun jejaring yang merajalela di lembaga-lembaga pemerintah. Karena itu P2T2 menyarankan sudah sepatutnya hal itu cepat dikonsolidasikan dengan aparat Polri.
"Sebab mereka (Polri) yang memiliki perangkat yang diatur perundangan untuk langsung bisa menangkap para pelaku. Bukan Jaksa. Sebab Jaksa itu penuntut mewakili negara, kecuali dalam penanganan kasus korupsi," terang dia.
Agar semakin sempurna, maka P2T2 merasa perlu untuk menambahkan seperti apa modus operandi lain dari mafia tanah selain yang dikatakan oleh Jaksa Agung.
Idealnya, kata Arman, Jaksa Agung tidak terbatas hanya sebut mafia tanah kerap menggunakan surat hak-hak tanah yang dipalsukan, pemalsuan warkah, surat, dan keterangan palsu, jual bel fiktif, penipuan atau penggelapan; sewa menyawa, menggugat kepemilikan tanah; atau menguasai tanah seperti preman.
"Itu menurut kami lebih dominan terkait dalam proses sertifikasi untuk personal. Peluang kecil modus itu digunakan secara langsung oleh korporasi," tutur dia.
Ditambahkan Arman, modus itu belum memasuki ranah korporasi. Padahal modus korporasi jahat yang paling signifikan menimbulkan konflik, sengketa hukum atau bahkan gerakan perlawanan massa.
"Karena Jaksa Agung belum membedah bagaimana modus operandi mafia terkait proses dari awal dan atau sampai perpanjangan sertifikat hak guna usaha (SHGU), sertifikat hak guna bangunan (SHGB) dan sertifikat hak pakai (SHP) dari sesuatu korporasi atau badan hukum," papar Arman.
Untuk lingkup itu, P2T2 menyarankan Jaksa Agung lebih memfokuskan pengawasan sebagai upaya antisipasi, ketimbang upaya penanganan hukum. Karena hal itu terkait bagaimana banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi oleh entitas pemohon untuk mendapatkan SHGU, SHGB, atau SHP.
"Patut untuk diketahui Jaksa Agung bahwa proses untuk terbit atau diperpanjangnya SHGU, SHGB, atau SHP sangat dominan melibatkan aparat sipil negara melalui sistim birokrasi. Dan pada model ini, kerap yang terjadi hanya penyalinan data dan peta area," tutur dia.
Dari mulai administrasi desa sampai Bupati atau Walikota. Malah untuk proses penetapan distribusi lahan eks SHGU atau SHGB sampai proses landreform kepada perorangan atau badan hukum, sangat dominan di tangan Gubernur.
"Umumnya terjadi dengan serampangan dan penuh kepentingan," ungkap dia.
Sebagai contoh, kata Arman pada pelepasan HGU PTPN II menjadi eks HGU PTPN II di Sumatera Utara yang terlihat upaya pendataan distribusi lahan yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sumatera Utara sebelumnya bisa dibongkar ulang oleh Pengadilan.
"Akhirnya pendataan harus diulang. Tentu hal itu bisa terjadi karena sesuatu pelanggaran terhadap perundangan. Dan itu menimbulkan konflik yang massif di sana. Jika Gubsu (Gubernur Sumut) berkinerja benar tentu tidak mungkin dibatalkan Pengadilan," tegasnya.
"Itu layak untuk diselidiki Jaksa Agung," tutup Arman.
BERITA TERKAIT: