Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung menilai, bantuan hibah sosial untuk Kadin Aceh secara kedudukan hukum dan tata kelola organisasi tidak memiliki kolerasi untuk dibenarkan. Karena Kadin bukan lembaga struktural organisasi pemerintahan atau perangkat kesatuan daerah.
"Dapat diduga bahwa alokasi anggaran tersebut berpotensi menimbulkan celah pelanggaran hukum terencana," kata Hayatuddin kepada
Kantor Berita Politik RMOL di Banda Aceh, Kamis (14/11).
Menurut Hayatuddin, jika merujuk pasal 6 ayat (5) Permendagri Nomor 123 Tahun 2018 tentang perubahan ke empat atas Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 disebutkan, hibah kepada badan dan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d diberikan untuk badan dan lembaga yang bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan telah memiliki surat keterangan terdaftar dari menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota.
Kemudian, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kadin sebagaimana dalam pasal 5 dijelaskan bahwa, Kadin itu bersifat mandiri. Bukan organisasi pemerintah dan organisasi politik, serta dalam melakukan kegiatannya tidak mencari keuntungan.
"Melihat dari nomenklatur dan tata organisasi, maka Kadin itu bukan bagian yang berhak mendapatkan anggaran secara terus menerus dalam bentuk hibah atau bansos," ujarnya.
Dia melihat pengusulan seluruhnya bersifat ilegal. Karena usulan tersebut tidak melalui skema perencanaan dan pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif.
Bahkan bisa dipastikan pengusulannya memiliki hubungan kolerasi politik yang sarat kepentingan. Termasuk memiliki tujuan tertentu untuk mendapatkan barter politik anggaran yang dimainkan untuk kepentingan segelintir pengusaha.
Itu sebabnya, GeRAK Aceh meminta kepada KPK untuk menindaklanjuti dan melakukan supervisi, guna mencegah terjadinya perbuatan korupsi. Karena, berdasarkan hasil kajian GeRAK, juga terdapat beberapa kejanggalan dalam pengusulan pengadaan dan mobiler untuk Kadin Aceh tersebut.