Penyidikan kasus ini dihentikan. Penyelesaiannya lewat jalur perdata. Kejagung telah menyampaikan pemberitaÂhuan mengenai dana yang bisa ditagih secara perdata dari kerja sama pemanfaatan lahan HIN oleh GI kepada Kementerian BUMN.
"Sekarang kewenanganÂnya ada di Kementerian BUMN. Kita hanya meninÂdaklanjuti apa yang diinginkan Kementerian BUMN," kata Muhammad Rum, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung saat itu.
Menurut dia, bila Kementerian BUMN ingin memÂperkarakan kerja sama pengÂgunaan lahan Hotel Indonesia Natour (HIN) oleh CKBI-GI, bisa lewat jalur perdata.
Kejagung siap menjadi pengacara negara jika Kementerian BUMN memberikan surat kuasa khusus. Gugatan bakal ditangani Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun).
Jaksa Agung M Prasetyo menegaskan, kasus Grand Indonesia bukan ranah pidana. "Kita menyimpulkan itu seÂbagai perdata," katanya.
Menurut dia, ada peluang memenangkan gugatan perÂdata. Salah satu buktinya, ketidaksesuaian jumlah bangunan di kontrak kerja sama.
CKBI melalui anak peruÂsahaan PT Grand Indonesia (GI) menambah dua banguÂnan tanpa memberitahukan kepada HIN selaku pemilik lahan. Dua bangunan itu adalah Menara BCA dan apartemen Kempinski.
Sesuai obyek yang terÂtuang dalam kesepakatan kerja sama, lahan HIN akan digunakan untuk pengemÂbangan Hotel Indonesia, pembangunan pusat perÂbelanjaan Grand Indonesia (West Mall) dan East Mall, serta tempat parkir.
Kejagung menduga akibat penambahan dua bangunan di luar kontrak itu, negara dirugikan hingga Rp 1,29 triliun. Pada 23 Februari 2016, kasus ini ditingkatkan ke penyidikan dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-10/F.2/Fd.1/02/2016.
Kasus ini berawal ketika CKBI menjadi pemenang lelang pengelolaan Hotel Indonesia. Kerja sama denÂgan sistem Built, Operate, and Transfer (BOT) atau membangun, mengelola, dan menyerahkan.
CKBI menyerahkan pelaksanaan kerja sama keÂpada anak perusahaannya, PT Grand Indonesia (GI). Untuk membiayai pembanÂgunan, PTGI mengagunkan Hak Guna Bangunan (HGB) Grand Indonesia. ***
BERITA TERKAIT: