Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Agus Rihat P. Manalu berpendapat, kasus Meliana dapat dicegah apabila negara sungguh-sungguh menjadikan hukum sebagai panglima dan bukan alat kekuasaan dan alat politik.
"Kita lihat dari rangkaian peristiwa Meliana di Tanjung Balai, Sumatera Utara itu adalah bentuk kekalahan negara menghadapi tekanan massa dalam menegakkan hukum," ujar Agus kepada redaksi, Selasa (28/8).
Dengan mengesampingkan fakta hukum dan bukti-bukti yang cukup dipaksakan, menurut Agus, perkara bisa lanjut ke pengadilan dan Meliana divonis 18 bulan penjara.
"Lalu bagaimana dengan para pelaku yang telah melakukan persekusi terhadap Meliana dan pengrusakan terhadap rumah ibadah agama tertentu sebagai bentuk pelampiasan kemarahan terhadap Meliana? Hanya divonis satu setengah bulan?†tutur Agus.
Agus Rihat yang diketahui juga berprofesi sebagai advokat itu menekankan, telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh sekelompok massa terhadap diri Meliana dan juga orang lain yang tidak berbuat apa-apa. Ironisnya, negara tidak melakukan proses hukum yang berimbang terhadap para pelaku persekusi dan pengrusakan tersebut.
Negara seharusnya tidak boleh kalah oleh tekanan massa dalam melakukan penegakan hukum.
"Ini adalah PR (Pekerjaan Rumah) besar bagi negara untuk melakukan penegakkan hukum yang seadil-adilnya tanpa pandang bulu, hukum harus tajam ke semuanya, jangan tajam ke bawah tapi tumpul ke atas," terangnya.
"Tegakkan hukjum walaupun langit runtuh (
fiat justitia ruat coelom) untuk membuktikan bahwa ini negara hukum yang sesungguhnya sehingga tidak terjadi lagi malapetaka hukum seperti kasus Meliana," kata Agus mengakhiri.
Perkara ini berawal dari keluhan Meliana kepada tetangganya tentang suara speaker masjid yang keras. Akan tetapi kemudian keluhan Meliana tersebut berubah jadi malapetaka akibat dari adanya isu yang beredar bahwa ada warga etnis Tionghoa yang melarang adzan di masjid menggunakan
speaker. [wid]