Nama Ibas Di Buku Novanto Tidak Akurat, Bisa Dimanfaatkan Kelompok Politik

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Selasa, 06 Februari 2018, 18:10 WIB
Nama Ibas Di Buku Novanto Tidak Akurat, Bisa Dimanfaatkan Kelompok Politik
Ibas/net
rmol news logo Buku catatan terdakwa kasus dugaan korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) Setya Novanto bisa menjadi isu liar. Catatan itu juga berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu.

Novanto pernah menunjukkan buku itu sebelum menjalani sidang lanjutan kasus dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Senin (5/2) kemarin. Dalam buku tersebut terlihat nama M Nazaruddin dan Edhie Baskoro Yudhohono (Ibas).

“Buku catatan SN menulis nama Ibas dan Nazaruddin. Hal ini tidak akan bermakna bila tidak disampaikan dengan bukti-bukti yang kuat di depan majelis hakim. Justru ini menjadi isu liar yang bisa ‘digoreng’ siapa saja untuk kepentingan politik tertentu,” kata Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Zaenal A Budiyono kepada wartawan, Selasa (6/2).

Novanto, lanjut dia, lebih baik membuka catatan tersebut jika ingin membuka kasus e-KTP dengan terang benderang. Selain meminimalisir adanya kecurigaan, dibukanya catatan itu juga sekaligus membuka kemungkinan para pihak yang terlibat dalam kasus e-KTP.

“Semuanya busa disampaikan Novanto dalam forum sidang pengadilan secara formal, sehingga memiliki landasan hukum yang kuat. Bukan hanya ditulis di kertas atau buku pribadi yang entah sengaja atau tidak, sering kali terbaca oleh jurnalis yang meliput atau sengaja dibuka?,” jelas Zaenal.

Dia menambahkan, informasi yang disampaikan di luar pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal ini juga tidak bisa menjadikan catatan tersebut sebagai bukti atau petunjuk yang kuat.

“Jangan-jangan ini adalah skenario untuk tujuan tertentu? Kita tidak tahu. Di negara-negara demokrasi yang mapan hal-hal semacam ini tidak dianggap menarik oleh media,” terangnya

Zaenal juga mempertanyakan akurasi buku tersebut. Ia mencontohkan penyebutan nama Edhie Baskoro Yudhoyono sebagai Ketua Fraksi Demokrat saat proyek e-KTP direncanakan. Padahal, saat itu jelas-jelas bukan dijabat Ibas-sapaannya.

“Tentu ini sangat mudah mengeceknya di DPR. Periode 2009-2014, Ketua Fraksi Demokrat dijabat M Djafar Hafsah dan dilanjutkan Nurhayati Assegaf,” tandasnya. [san]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA