Demikain disampaikan Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti di Jakarta, Sabtu (3/2).
"Suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana, bukan Undang-Undang biasa. Jadi beda sekali karakternya dengan undang-undang biasa, harus jauh lebih hati-hati," kata dia.
Hal tersebut disampaikan Bivitri terkait upaya pemerintah dan DPR menghidupkan lagi pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang pernah dibatalkan oleh MK melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Pada Desember 2006. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum alias pasal karet.
"Saya ingin mengingatkan kembali ibu dan bapak legislator bahwa namanya putusan MK itu memang tidak bisa dimain-mainkan seperti itu. Putusan MK itu final dan mengikat, tidak bisa dicoba-coba lagi dan terus berargumen bahwa oh itu dulu KUHP yang lama pasal sekian yang dihapus, kalo ini kan baru pasalnya, bukan," kata dia.
Bivitri khawatir, pembahasan pasal itu tanpa melalui kajian yang mendalam serta dalam penyusunannya tanpa membahas esensi hukum pidana itu sendiri. Dimana seharusnya, kata dia penyusunan pasal yang akan dimasukan ke dalam KUHP harus ada analisis dampaknya.
"Ini ga pernah dihitung penjaranya siap apa ga, hakimnya siap menerapkan apa tidak, tidak pernah ada studinya," pungkasnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: