Adapun perkara ini diajukan organisasi Gerakan 20 Mei Masyarakat Kutai Timur, Kalimantan Timur. Pemohon diwakili oleh Ketua G20 Mei Irwan dan anggotanya Jamal Pratama.
Mereka hendak melakukan uji materi atas Pasal 15 ayat (3) huruf d UU No. 15/2017 tentang APBN Tahun 2018 mengenai ketentuan penyaluran anggaran transfer ke daerah dan dana desa.
Bunyi dari pasal itu adalah; Dapat dilakukan penundaan dan/ atau pemotongan dalam hal daerah tidak memenuhi paling sedikit anggaran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan atau menunggak membayar iuran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan.
Terkait itu, Kuasa Hukun Pemohon, Ahmad Irawan menjelaskan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28A dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Seperti diatur dalam UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum. Dengan demikian, kebijakan dan keputusan penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum dan konstitusi," tegas Irawan.
Pihaknya mengaku sangat mempersoalkan frase “dapat dilakukan penundaan dan/ atau pemotongan†dalam pasal tersebut. Pasalnya frase itu dinilai telah membuka pintu kesewenang-wenangan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.
Padahal transfer anggaran ke daerah merupakan cerminan hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan selaras serta hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan masyarakat di daerah.
"Pemotongan tanpa dasar hukum dan tidak sesuai prosedur oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebabkan ketidakpastian hukum, tidak konsisten, tidak adil dan tidak proporsional," ketusnya.
Dengan adanya frase tersebut, pemerintah pusat boleh tidak melakukan alokasi dana sebagaimana alokasi minimum yang diamanatkan undang-undang. Itupun kata dia, dana alokasi masih bisa dipangkas. Padahal, dalam perspektif perimbangan keuangan negara, dana yang ditransfer harus sesuai dengan undang-undang yang telah menetapkan presentase dana bagi hasil dan dana transfer ke daerah.
Akibat dari itu menurut dia sangatlah fatal. Dimana pelayanan dasar di daerah-daerah bisa terganggu. Padahal prinsipnya, ketika daerah tidak memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan kewenangan desentralisasi, seharusnya kebijakan yang dikeluarkan adalah membantu daerah, tidak justru memotong atau menunda transfer.
"Jadi penundaan atau pemotongan yang dilakukan oleh pemerintah pusat telah bertentangan dengan prinsip bahwa pemerintah harus mengelola keuangan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah daerah, penduduk daerah penghasil dapat mempertahankan hidup dan kehidupannya serta hidup yang layak, pemanfaatan sumber daya alam harus adil dan selaras," tutur Irawan.
Nah, mendengar pokok permohonan yang diuraikan oleh pemohon tadi, Hakim Konstitusi Aswanto meminta pemohon untuk mengelaborasi permohonannya. Pemohon juga diminta memperbaiki hal-hal tekhnis dan mengulas lebih komprehensif korelasi antara pelaksanaan pemotongan anggaran tersebut dengan pelanggaran hak konstitusi warga negara.
Selanjutnya, pemohon diberi kesempatan oleh Panel Hakim Konstitusi untuk memperbaiki permohonan selama 14 hari, yaitu pada Tanggal 7 Februari 2018. Jika tidak ada perbaikan permohonan sebelum tanggal tersebut, maka dianggap tidak terdapat perbaikan permohonan.
[nes]