SB sendiri baru sekali diperiksa sebagai saksi dan penetapannya tanpa surat panggilan.
Pengamat hukum dari Universitas Tarumanegara, Urbanisasi berpendapat, Presiden Jokowi harus segera turun tangan agar kasus ini tidak dipolitisasi dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasi sejumlah jenderal di TNI Angkatan Udara.
"Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru ditunjuk pada bulan Juli 2017 dan baru memulai audit. Namun pihak Puspom TNI sudah menjustifikasi pembelian itu berindikasi korupsi dan sudah menetapkan tersangkanya, dasarnya apa?" kritik Urbanisasi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (15/8).
"Masalah ini tidak boleh jadi uji coba tanpa mengindahkan fakta hukum. Langkah yang dilakukan penyidik TNI sudah menyimpang jauh, harus kita cegah, karena jika tidak dicegah bisa menjatuhkan citra lembaga TNI," lanjutnya.
Sebagai kuasa hukum dari SB, Urbanisasi mengaku prihatin dengan cara-cara Puspom menetapkan kliennya sebagai tersangka. Mulai dari surat panggilan yang tidak ada, SB bahkan tidak tahu disangkakan karena kesalahan apa.
"Salahnya di mana, terus kasusnya apa
kok tiba-tiba sudah dinyatakan tersangka, apalagi penetapan ini tidak dilakukan secara lazim dalam institusi kemiliteran, yakni berikan dulu surat pemeriksaan, lanjut surat pemberitahuan hingga penetapan, jadi harus pakai prosedur, tidak sesukanya sendiri," urainya.
Ia memandang, pihak Puspom telah terlalu jauh melangkah karena tanpa ada pemberitahuan masalah kepada bersangkutan.
"Ada fakta-fakta seperti ini bagaimana menyelesaikannya. Bukannya tiba-tiba mengumumkan penetapatan tersangka ke media di Kuta, Bali," jelas Urbanisasi.
Kasus tersebut, kata Urbanisasi,sebenarnya bisa dibuktikan jika pihak TNI membentuk tim investigasi atau pencari fakta gabungan, disusul dengan peradilan koneksitas agar bisa memiliki kewenangan menyidik perkara korupsi atau perkara di luar hukum militer.
"Puspom menurut saya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, karena kasus ini tidak ada perspektif pidananya. Tidak ada alat bukti yang mengarahkan itu sebagai tindak pidana," tegas Urbanisasi.
Maka dari itu, pihaknya menunggu hasil resmi dari BPK tentang kerugian negara yang ada dalam kasus ini.
"Sebab, hingga kini BPK belum menyampaikan apapun terkait hasil audit, tapi tiba-tiba Puspom sudah memaksakan kasus itu, ini ada apa?" pungkasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Jurubicara BPK Yudi Ramdan Budiman memastikan BPK belum pernah merilis audit yang menghitung kerugian negara dalam pembelian Helikopter AW 101.
Kasus dugaan korupsi pembelian satu helikopter AgustaWestland AW 101 terus menggelinding di tangan Pusat Polisi Militer TNI yang menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada 4 Agustus lalu, Komandan Pusat Polisi Militer TNI Mayor Jenderal Dodik Wijanarko menetapkan dua perwira sebagai tersangka baru kasus ini. Bulan Mei sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sudah lebih dulu mengumumkan tiga perwira lain sebagai tersangka.
Hingga kini sudah ada lima perwira TNI AU yang dijerat pasal korupsi oleh polisi militer dengan pangkat tertinggi Marsekal Muda atau jenderal bintang dua.
[wid]