Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy mengatakan, perempuan buruh migran rentan terhadap kekerasan dan pelangÂgaran hak di seluruh tahapan miÂgrasi. Baik sebelum keberangkaÂtan, pada saat bekerja di negara tujuan, bahkan hingga pasca kepulangan.
Selama tahun 2016 saja, SP menangani 66 kasus kekerasan dan pelanggaran hak perempuan Buruh Migran. Dari 66 kasus tersebut, 10 kasus merupakan pengaduan kasus baru dan 56 kaÂsus masuk sebelum tahun 2016 yang belum terselesaikan.
"Angka ini menunjukkan bahÂwa Perempuan Buruh Migran yang mengalami kasus sangat sulit untuk mencapai keadilan," ujarnya di Jakarta.
Sementara, pengalaman SP dalam melakukan pengorganisaÂsian dan advokasi menunjukkan banyak kasus kekerasan yang dialami perempuan buruh miÂgran tidak dilaporkan, sehingga perempuan buruh migran tidak mendapatkan keadilan.
Hal ini karena perempuan buruh migran sering kali tidak memiliki akses informasi dan akses terhadap bantuan hukum sehingga tidak bisa meninÂdaklanjuti kasus yang mereka alami.
"Akses terhadap keadilan beÂlum didapatkan oleh Perempuan Buruh Migran, bahkan mayoritas dari mereka tidak tahu harus ke mana apabila mengaÂlami kekerasan dan pelanggaran hak," kata.
Situasi ini menjadi alasan Solidaritas Perempuan (SP) untuk mengembangkan inovasi untuk menghubungkan peremÂpuan buruh migran, terutama yang mengalami kasus, dengan pihak-pihak yang menangani kasus, termasuk sebagai media informasi bagi perempuan buruh migran. ***
BERITA TERKAIT: