Lewat pengesahan tersebut, DPR seolah membenarkan langÂkah pemerintah mengeluarkan peraturan tanpa kajian yang matang, terburu-buru, dan tidak memperhatikan peraturan lain yang sudah ada.
Peneliti senior
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju menerangkan, Perppu biasanya dikeluarkan oleh eksekutif untuk mengatasi suatu 'kegentingan yang memaksa'. Selain itu, seharusnya Perppu harus dikaji secara matang dengan pendekatan yang multidisipliner atau interdisipliner.
"Pada situasi dan kondisi mengeluarkan Perppu tersebut, pemerintah belum dapat menunjukan kepada publik mengenai kegentinÂgan yang terjadi pada anak-anak yang mengalami kekerasan sekÂsual," ujarnya, kemarin.
Anggara menekankan, karena kasus kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa, maka pemerintah seharusnya menjalankan tugasnya dan keÂwajibannya dengan maksimal dalam rangka memberikan keaÂdilan, perlindungan dan pemuÂlihan bagi korban dan memberiÂkan pemenuhan hak-hak korban yaitu hak untuk mendapatkan kompensasi bagi korban atau keluarga korban.
"Hal ini terlihat jelas dari isi Perppu tersebut, dimana persoÂalan-persoalan mengenai anak yang menjadi korban, tidak ada satu pun pasal-pasal yang menÂgatur mengenai anak-anak yang menjadi korban," katanya.
Selain itu, pemerintah menÂgeluarkan peraturan ini secara terburu-buru tanpa mempertimÂbangkan masukan dari berbagai lapisan masyarakat. Apalagi masyarakat masih pro dan kontra terkait dengan rencana pemerintah untuk mengesahkan hukuman kebiri dalam Perppu ini. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yambise lega karÂena akhirnya Perppu No 1 tahun 2016 disahkan menjadi UU. Dia berjanji jajaran kementeriannya bersama kementerian terkait akan segera menindaklanjuti untuk membuat mekanisme pelaksanaan.
"Catatan yang diberikan DPR akan kami tindaklanjuti. Kami mendoakan supaya daÂpat menurunkan kekerasan terhÂadap perempuan dan anak serta memberikan efek jera kepada pelaku," ujarnya. ***
BERITA TERKAIT: