Tim Forensik Muhammadiyah mengeluarkan hasil otopsi yang menyimpulan kematian Siyono tidak wajar. Dari hasil otopsi, dokter menemukan banyak tanda kekerasan pada tubuh pria asal Klaten itu. Selain itu, tidak ditemukan ada perlawanan dari Siyono sebelum kematiannya, sebagaimana diklaim Polri.
Penyebab kematian Siyono bukan pendarahan di kepala, melainkan karena luka dalam di rongga dada (patah tulang iga) yang menghujam ke jantung akibat hantaman benda tumpul.
Menanggapi itu, Jenderal Badrodin menegaskan bahwa kepolisian mempunyai mekanisme internal untuk menentukan terjadi pelanggaran atau tidak dalam proses penangkapan Siyono.
"Saya mengucapkan terima kasih, kasus Siyono sudah dilakukan otopsi dan sudah ada hasilnya. Tentu kita hargai itu. Tapi juga kami punya mekanisme sendiri apakah nanti klop antara hasil otopsi dengan hasil pemeriksaan Propam," ujar Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (12/4).
Menurut Kapolri, tugas pokok dan fungsi Densus 88 Anti Teror sudah jelas yaitu menanggulangi terorisme, baik dalam rangka pencegahan maupun penumpasannya.
"Kami juga tidak mau negara kita jadi negara yang gagal karena kekerasan dan teror. Karena itu pemberantasan terorisme harus tetap kita lakukan," terangnya.
Terlepas dari itu, Badrodin menegaskan bahwa Polri siap dievaluasi apabila terdapat kesalahan dalam prosedur penangkapan Siyono.
"Dalam pemberantasan terorisme ada hal yang dianggap janggal, dicurigai ada kekeliruan, saya siap untuk bisa dikoreksi," terangnya.
Intinya Kapolri meminta semua pihak menanti hasil pemeriksaan Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) dan Divisi Propam yang bertanggung jawab terhadap masalah pembinaan profesi dan pengamanan di lingkungan internal organisasi Polri.
"Tentu bisa disidangkan kalau ada pelanggaran kode etik atau disiplin. Tapi kalau itu pelanggaran pidana, silakan diproses hukum," tegasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: