Dia tegaskan, rekaman tersebut tidak dapat menjadi alat bukti lantaran didapatkan secara ilegal.
"Dalam, rancangan KUHP atas usul ahli hukum acara pidana sedunia Prof Thaman, hal itu ditegaskan dalam KUHP semua alat bukti (bukan rekaman saja) yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dipakai alat bukti," kata mantan Jaksa yang saat ini mengajar di Pusdiklat Kejagung itu saat dikontak, Rabu (6/1).
Andi jelaskan, rekaman tanpa izin sama saja dengan penyadapan telepon tanpa izin dan memasuki perkarangan orang lain tanpa izin. Meski tidak ada tindak pidana dalam KUHP Indonesia, semuanya menyangkut privasi orang lain.
Nah, hal itu berbeda dengan rekaman pembicaraan bukti CCTV yang didapat tim penyelidik di Hotel Ritz Carlton, Jakarta.
"Pertama perekaman pembicaraan orang lain bersifat khusus untuk orang tertentu, waktu tertentu, tidak diketahui orang yang direkam pembicaraannya. Sedangkan CCTV bersifat umum, waktu terus-menerus, dapat diketahui atau dilihat orang. Perekaman pembicaraan berupa suara, sedangkan CCTV hanya gambar," tandasnya.
Mantan jaksa Adnan Paslyadja juga mengutarakan hal senada. Kata dia, barang bukti berupa rekaman melalui telepon celuller merupakan bukti permulaan berdasarkan Pasal 5 huruf a angka 2 KUHAP dan Pasal 26 A Undang-Undang No.20/2001.
Dosen tetap FH UMJ ini bilang, tahap penyidikan merupakan bukti setelah disita secara sah di pengadilan merupakan alat bukti petunjuk setelah diajukan di sidang pengadilan. Namun bila rekaman diperoleh secara tidak sah tanpa sepengetahuan pihak yang direkam menjadi tidak sah.
"Itu tindakan tidak bertanggungjawab dan melanggar HAM yang dilindungi oleh KUHAP. Yang boleh hanyalah penyidik. Dengan demikian rekaman yang dilakukan Maroef Sjamsoeddin tidak dapat dijadikan bukti di penyidikan," tandas Adnan yang juga ahli dari KPK.
[sam]
BERITA TERKAIT: