Waspada! Ekonomi RI Dibayangi Risiko Krisis Tahun Depan

Senin, 29 Desember 2025, 18:57 WIB
Waspada! Ekonomi RI Dibayangi Risiko Krisis Tahun Depan

Ilustrasi. (RMOL/Alifia)

RMOL. Kondisi perekonomian Indonesia dibayangi dengan ketidakpastian dan krisis pada awal tahun 2026.

Lembaga riset Bright Institute memperingatkan kelesuan ekonomi diperkirakan masih berlanjut hingga 2026, bahkan risiko resesi alami dinilai meningkat pada semester II 2026 dan berlanjut pada 2027.

Dalam analisis terbarunya, Bright Institute menilai indikator makroekonomi belum menunjukkan perbaikan. Pertumbuhan ekonomi masih bertahan di kisaran 5 persen, pola yang telah berlangsung hampir satu dekade, dengan tumpuan utama pada konsumsi rumah tangga. Sementara itu, inflasi memang relatif terkendali, namun tekanan pada kelompok bahan makanan masih cukup tinggi.

Di sisi lain, kondisi ketenagakerjaan dinilai memburuk meski tingkat pengangguran tercatat menurun. Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan meningkatnya pekerjaan informal disebut menekan pendapatan pekerja.

“Konsumsi rumah tangga diperkirakan akan terus menurun. Terutama disebabkan oleh pendapatan pekerja yang menurun, seiring dengan meningkatnya PHK dan informalisasi pekerjaan,” tulis Bright Institute dalam keterangannya dikutip Senin, 29 Desember 2025.

Lembaga riset itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi masih berpeluang bertahan di sekitar 5 persen, namun terbuka risiko melambat hingga kisaran 2,5 persen. Penurunan konsumsi rumah tangga menjadi faktor utama, sementara investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) serta ekspor belum menunjukkan kemampuan untuk mengompensasi pelemahan tersebut.

“Jika investasi dan ekspor ikut melambat, risiko pertumbuhan ekonomi turun ke kisaran 2,5 persen akan semakin besar,” sambung Bright Institute.

Tekanan juga datang dari sektor eksternal. Kondisi transaksi internasional Indonesia dinilai memburuk sepanjang 2025 dan berpotensi berlanjut pada 2026. Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), termasuk pada komponen transaksi finansial yang jarang terjadi, telah dialami pada 2025 dan diperkirakan belum mereda.

Dari sisi fiskal, Bright Institute menilai situasi kian mengkhawatirkan. Penerimaan negara, khususnya dari perpajakan, sulit ditingkatkan di tengah ekonomi yang lesu. 

Pada saat yang sama, belanja negara justru terus meningkat akibat berbagai program prioritas dan membengkaknya birokrasi. Kondisi ini membuat defisit anggaran semakin sulit ditekan dan berujung pada kebutuhan utang yang lebih besar.

Kondisi ini akan membuat beban utang pemerintah semakin berat. Menurut Bright Institute menilai keamanan utang hanya dari rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tidak lagi cukup. Indikator yang lebih relevan adalah beban pembayaran bunga dan pelunasan pokok. Saat ini, debt service ratio disebut telah melampaui 40 persen, bahkan pembayaran bunga mendekati 20 persen.

Sementara itu, pertumbuhan kredit perbankan terus melambat sepanjang 2025 dan diperkirakan sulit dipacu lebih cepat pada 2026. Kondisi perbankan ditandai oleh Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yang tak kunjung turun signifikan, serta transmisi penurunan BI-rate ke SBDK yang berjalan lambat.

Ruang kebijakan moneter Bank Indonesia pun dinilai semakin sempit, antara lain akibat kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) yang sudah terlampau besar.

Dari sisi sosial, Bright Institute menyoroti fakta bahwa sebagian besar penduduk berada tidak jauh dari garis kemiskinan, sementara kelas menengah terus menyusut. 

Di saat bersamaan, ketimpangan kekayaan finansial antar kelompok masyarakat justru meningkat. Kondisi ini dinilai berpotensi memperluas risiko ekonomi ke ranah sosial dan politik.

“Secara umum, ketahanan ekonomi Indonesia sedang berada pada level yang rendah, bahkan cenderung rapuh,” tegas Bright Institute, merujuk pada lemahnya kondisi makroekonomi, sempitnya ruang fiskal, serta keterbatasan kebijakan moneter.

Tekanan terhadap nilai tukar rupiah yang terjadi pada 2025 juga diperkirakan berlanjut pada 2026, dengan potensi volatilitas yang lebih tinggi. 

Bright Institute juga mengingatkan, perekonomian global tengah menghadapi ancaman stagflasi serius, khususnya di sejumlah negara maju. Amerika Serikat dan China masih dibayangi perlambatan ekonomi, kenaikan pengangguran, serta inflasi yang relatif tinggi.

Bahkan, ketidakpastian dinamika keuangan global dinilai mengarah pada risiko terjadinya “crash” dengan skala yang setara atau bahkan lebih berat dibanding krisis keuangan global 2008. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOTO LAINNYA