Kehadiran Min Aung Hlaing itu menandai penampilan publik yang langka di tengah meningkatnya tekanan domestik dan persiapan pemilu yang dijanjikan akhir tahun ini.
Upacara tersebut digelar di Mausoleum Martir di Yangon, di kaki Pagoda Shwedagon yang ikonik, di tengah pengamanan ketat.
Bendera nasional dikibarkan setengah tiang sementara masyarakat Yangon membunyikan klakson dan sirene pada pukul 10.37 pagi, waktu pasti saat Aung San dan delapan tokoh lainnya dibunuh dalam serangan bersenjata tahun 1947, beberapa bulan sebelum kemerdekaan Myanmar dari Inggris.
"Hari Martir telah menjadi simbol perjuangan nasional, tetapi selama beberapa tahun terakhir, militer mencoba meremehkan maknanya," ujar seorang warga Yangon yang ikut memberi penghormatan namun enggan disebut namanya karena alasan keamanan, seperti dimuat
AFP pada Minggu, 20 Juli 2025.
Suu Kyi sendiri absen dari upacara tersebut untuk tahun kelima berturut-turut. Sejak ditangkap pada hari kudeta 1 Februari 2021, ia tidak pernah lagi muncul di hadapan publik.
Saat ini, ia menjalani hukuman penjara 27 tahun atas dakwaan yang secara luas dianggap bermotif politik.
Sebagai pengganti, Ye Aung Than, cucu Jenderal Aung San dari kakak Suu Kyi, meletakkan karangan bunga di makam kakeknya dalam upacara resmi.
Kehadiran Min Aung Hlaing disebut sebagian pengamat sebagai upaya mengklaim legitimasi simbolik menjelang pemilu yang direncanakan digelar akhir tahun ini.
Banyak pihak menilai pemilu tersebut sebagai rekayasa politik untuk memperkuat cengkeraman militer atas kekuasaan.
“Langkah ini tampak seperti usaha untuk membungkus rezim militer dengan simbol-simbol sejarah nasional, padahal kenyataannya mereka telah mengkhianati semangat demokrasi yang diperjuangkan Aung San,” kata analis politik Myanmar, Ko Myo Win.
Sejak kudeta, konflik bersenjata antara militer dan kelompok oposisi bersenjata terus meningkat. Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), hingga kini tercatat 6.974 orang tewas dan 29.405 lainnya ditangkap, termasuk aktivis, seniman, dan politisi.
Kini, militer hanya menguasai kurang dari separuh wilayah negara. Serangan-serangan balasan kian digencarkan menjelang pemilu, yang diyakini akan menjadi momen penentu masa depan Myanmar.
BERITA TERKAIT: