Di tengah kekacauan ini, Tiongkok berusaha keras untuk tetap mendominasi politik dan ekonomi Bangladesh. Awalnya, Tiongkok membina hubungan dekat dengan Liga Awami dan menempatkan Bangladesh sebagai pasar penting bagi proyek-proyek BRI.
Setelah partai-partai oposisi mulai memprotes Sheikh Hasina dan Muhammad Yunus mengambil alih kekuasaan, Tiongkok dengan cepat mengubah haluan dan menyatakan kesediaannya untuk bekerja sama dengan pemerintah sementara.
Tiongkok juga dilaporkan bersekutu dengan partai oposisi BNP, yang dikenal karena sikapnya yang pro-Tiongkok. Namun, ketika menyadari bahwa BNP masih jauh dari memperoleh kekuasaan, Tiongkok beralih mendukung pemerintahan Yunus.
Sasaran utama Tiongkok adalah untuk memantapkan kehadirannya di Bangladesh, terlepas dari partai mana yang berkuasa, tulis
Mizzima.com.
“Tiongkok telah lama berupaya untuk berinvestasi secara ekonomi di Bangladesh, dengan menawarkan berbagai insentif seperti Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) dan Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) untuk lebih memperdalam kepentingan ekonominya. Tiongkok telah berinvestasi dalam berbagai proyek penting seperti pembangunan Jembatan Sungai Padma, pembangkit listrik besar, dan pabrik panel surya di Bangladesh,” tulis laporan itu.
Keterlibatan Tiongkok di negara-negara seperti Pakistan, Mongolia, Myanmar, Kenya, Zambia, Djibouti, Ethiopia, Kirgistan, Sri Lanka, Maladewa, Nepal, dan sekarang Bangladesh sering kali menyebabkan ketidakstabilan politik dan tekanan ekonomi.
Jadi sangat. wajar bila niat Tiongkok di Bangladesh selalu dipertanyakan. Dikelilingi oleh tetangganya India di tiga sisi dan Myanmar di satu sisi, keputusan Tiongkok untuk memasok senjata ke Bangladesh membingungkan.
Menurut laporan lembaga pemikir Swedia SIPRI, Tiongkok memasok 72 persen persenjataan Bangladesh antara tahun 2019 dan 2023. Angkatan Bersenjata Bangladesh bertujuan untuk melakukan modernisasi pada tahun 2030, dan untuk tujuan ini, mereka telah menandatangani perjanjian militer dengan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA).
Tiongkok juga telah membangun pelabuhan bernama BNS Sheikh Hasina di dekat Cox's Bazar di Chittagong, yang mampu menampung enam kapal selam dan delapan kapal perang. Fregat dan korvet buatan Tiongkok yang termasuk dalam Angkatan Laut Bangladesh ditempatkan di sini. Citra satelit mengungkapkan bahwa kapal selam buatan Tiongkok juga telah disediakan untuk Bangladesh dan telah ditempatkan di sana selama setahun terakhir.
Bangladesh adalah negara Asia Selatan pertama yang secara resmi bergabung dengan proyek BRI Tiongkok. Selama periode ini, Tiongkok telah menginvestasikan 7 miliar dolar AS di Bangladesh. Dengan kedok investasi, Tiongkok telah melumpuhkan ekonomi Bangladesh dan kemudian menciptakan ketidakstabilan politik.
Setelah memenangkan pemilihan umum pada Januari 2024, Perdana Menteri saat itu Sheikh Hasina mengunjungi Tiongkok tetapi memutuskan untuk tidak mengikutsertakan Tiongkok dalam proyek Sungai Teesta, yang bertentangan dengan arahan Tiongkok.
Selain itu, Sheikh Hasina tidak memberi Tiongkok akses tanpa batas untuk berinvestasi dan berdagang di Bangladesh, yang membuat Beijing marah. Para ahli percaya bahwa hal ini menyebabkan Tiongkok memainkan peran penting dalam menggulingkan pemerintahan Sheikh Hasina untuk memajukan kepentingannya di Bangladesh. Di tengah ketidakstabilan politik di Bangladesh, Tiongkok dapat dengan mudah menyelaraskan pemerintahan sementara Yunus dengan kepentingannya, sehingga memperoleh posisi yang kuat dalam urusan internal Bangladesh.
Faktor penting dalam dinamika geopolitik yang berubah adalah situasi di Myanmar. Bangladesh berbatasan dengan negara bagian Chin dan Rakhine di Myanmar, yang telah menjadi penting bagi strategi regional Tiongkok. Republik Rakyat Tiongkok (RRT) telah membangun hubungan dengan organisasi etnis bersenjata (EAO) di Myanmar, seperti Tentara Nasional Chin (CNA) dan Tentara Arakan (AA), yang keduanya memihak Tiongkok. Kelompok-kelompok ini memperoleh pengaruh di wilayah perbatasan Myanmar, yang berpotensi memungkinkan Tiongkok memperluas pengaruhnya di Bangladesh.
Kelompok pemberontak Bangladesh seperti Front Nasional Kuki-Chin (KNF), yang beroperasi dari Chittagong Hill Tracts, telah menerima pelatihan di Myanmar. Keterlibatan Tiongkok dalam mediasi antara Dhaka dan kelompok pemberontak ini dapat memainkan peran penting dalam menstabilkan Bangladesh secara internal. Selain itu, menangani pemulangan pengungsi Rohingya tetap menjadi masalah penting bagi Bangladesh, dan peran Tiongkok dapat menjadi signifikan dalam menemukan penyelesaian.
Pada tahun 2019, tingkat pertumbuhan PDB Bangladesh adalah 7,88 persen. Namun, sejak jatuh ke dalam perangkap Tiongkok, Bangladesh telah menuju ke arah penurunan ekonomi. Jika masalahnya hanya terbatas pada kesulitan ekonomi, Bangladesh mungkin telah pulih seiring berjalannya waktu. Namun, kombinasi ketidakstabilan ekonomi dan politik telah berdampak parah pada tulang punggung negara tersebut, dan mungkin butuh waktu puluhan tahun untuk pulih.
Para ahli percaya bahwa jika Bangladesh ingin keluar dari masa transisi ini dan kembali ke masa jayanya, pertama-tama negara itu harus memutuskan semua hubungan dengan Tiongkok. Setelah itu, reformasi internal yang komprehensif, dimulai dengan stabilitas politik, harus dilaksanakan. Hanya dengan begitu keadaan normal dapat dipulihkan di Bangladesh, atau negara itu berisiko menjadi korban lain dari strategi licik Tiongkok.
BERITA TERKAIT: