Dikutip dari
The Straits Times pada Minggu (17/9), sebuah penelitian yang dipimpin oleh Associate Professor Soo Han Sen menunjukkan cahaya dan fotokatalis dapat memecah ikatan polimer yang membandel pada plastik.
Proses ini disebut "upcycling", bukan "recycling". Recycling sebagian besar mengacu pada daur ulang mekanis, yang mengurangi daya tahan plastik. Ini adalah proses pemulihan sampah melalui pemilahan, pencucian, pengeringan, penggilingan, dan granulasi ulang.
Langkah pemrosesan terakhir adalah peracikan, setelah itu bahan plastik recycling dapat dimasukkan ke dalam proses produksi.
Sementara pada upcycling yang dikembangkan ilmuwan NTU, proses menghasilkan asam format, asam asetat, dan asam benzoat yang dapat digunakan dalam pembuatan bahan kimia lain untuk sel bahan bakar dan pembawa hidrogen organik cair (LOHC).
Karena hidrogen jarang ditemukan dalam bentuk gas, LOHC dapat menyerap hidrogen untuk transportasi yang lebih aman sebelum dibakar untuk menghasilkan energi.
Tim peneliti saat ini sedang mencari kolaborator industri untuk mengkomersialkan teknologi tersebut. Di samping itu juga mencari hak paten untuk proses ini.
Proses ini bisa digunakan pada kantor plastik, kotak plastik, kotak styrofoam, hingga pipa limbah PVC.
Teknologi ini berpotensi menggunakan fotokatalis yang berbeda untuk menghasilkan bahan kimia khusus yang bernilai lebih tinggi untuk wewangian dan cat. Fotokatalis adalah bahan yang mengubah laju reaksi kimia ketika terkena cahaya.
Lebih banyak penelitian dan pengembangan sedang dilakukan untuk menjadikan teknologi ini lebih efisien, sehingga dalam lingkungan komersial, berton-ton sampah plastik dapat diproses dalam waktu beberapa jam atau hingga satu hari.
Saat ini diperlukan waktu hingga enam hari untuk memproses sampah plastik, teknologi daur ulang kimia baru ini menggunakan pelarut organik diklorometana untuk melarutkan plastik dan membubarkan rantai polimer.
Fotokatalis kemudian dimasukkan ke dalam larutan sebelum dipompa melalui tabung transparan dalam spiral datar untuk oksigen dan lampu LED untuk memecah plastik. Tidak diperlukan panas tambahan, karena larutan fotokatalis dapat bereaksi pada suhu kamar.
Meskipun jejak karbon belum dapat dihitung, Prof Soo yakin bahwa emisi karbon dari metode ini akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan pirolisis konvensional dan daur ulang mekanis.
Pasalnya, pirolisis biasanya menggunakan panas tinggi untuk mengolah sampah plastik menjadi bahan bakar pembakaran.
“Dalam pirolisis, Anda menggunakan energi untuk mengubahnya menjadi bahan bakar sehingga Anda dapat membakarnya nanti. Sehingga menambah karbon dioksida ke atmosfer," jelasnya.
Penelitian yang berada di bawah proyek Sustainable Plastics RepUrposing for a Circular Economy (Spruce) NTU ini juga mempertimbangkan dampak emisi karbon dari sampah plastik.
BERITA TERKAIT: