Portal berita
Al Mayadeen dalam laporannya mengatakan larangan yang diumumkan Tchiani, pemimpin dewan transisi yang baru dibentuk, sudah berjalan mulai Minggu (30/7) waktu setempat.
Ribuan pendukung junta memuji langkah tersebut selama protes anti-Prancis di ibu kota Niamey, di mana mereka membakar bendera Prancis.
“Kami punya uranium, intan, emas, dan minyak, dan kami hidup seperti budak? Kami tidak membutuhkan orang Prancis untuk menjaga kami tetap aman,” kata salah satu pengunjuk rasa, seperti dikutip dari
RT, Selasa (1/8).
Niger adalah produsen uranium terbesar ketujuh di dunia, menyumbang 5 persen dari produksi global, menurut Asosiasi Nuklir Dunia. Laporan media Prancis mengatakan negara itu menyumbang 15 -17 persen uranium yang digunakan di Prancis untuk menghasilkan listrik.
Komunitas Energi Atom Eropa, Euratom, mengatakan kepada Reuters pada Selasa bahwa negara Afrika Barat itu adalah pemasok uranium alam terbesar kedua ke blok UE tahun lalu.
Menurut badan tersebut, tidak ada ancaman langsung terhadap produksi tenaga nuklir jika Niger menangguhkan pasokan karena utilitas di UE memiliki stok uranium yang cukup untuk bahan bakar reaktor tenaga nuklir selama tiga tahun.
Editor situs berita nuklir Rusia Atominfo, Alexander Uvarov, mengatakan kepada
TASS bahwa dampak langsung dari pemotongan ekspor uranium Niger pada sektor tenaga nuklir Prancis tidak akan signifikan, tetapi harga uranium global kemungkinan akan naik.
Perusahaan milik negara Prancis Orano, yang mengoperasikan tambang uranium di Niger, mengatakan pada Selasa bahwa mereka mengawasi situasi keamanan di bekas jajahan Prancis itu.
“Rombongan tersebut dengan cermat mengikuti instruksi yang diberikan oleh Kedutaan Besar Prancis untuk memberikan kesempatan kepada karyawan untuk meninggalkan Niger jika mereka mau,” kata Orano.
Prancis mengumumkan bahwa mereka akan mengevakuasi warga Prancis dan Eropa dari Niamey, mengutip serangan terhadap kedutaannya setelah kudeta 26 Juli.
Junta mengklaim bahwa pasukan keamanan Prancis menyerang para demonstran yang berbaris mendukung kudeta dan memprotes kehadiran Prancis di negara itu pada hari Minggu. Enam orang terluka akibat intervensi Prancis, menurut para pemimpin kudeta.
Kementerian Luar Negeri Prancis membantah menggunakan kekuatan mematikan terhadap para pengunjuk rasa.
BERITA TERKAIT: