Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta/Net
Pakta kepolisian yang baru-baru ini ditandatangani China dan Kepulauan Solomon telah memantik kecurigaan di antara negara Pasifik, termasuk Selandia Baru.
Menteri Luar Negeri Selandia Baru Nanaia Mahuta mendesak agar kedua negara tersebut mengungkapkan rincian perjanjian keamanan terbaru mereka, yang ditandatangani pekan lalu.
"Kami ingin teks tersebut dipublikasikan untuk memahami implikasi keamanan apapun bagi wilayah tersebut," tegasnya, seperti dikutip dari Stuff News pada Senin (17/7).
Kekhawatiran yang sama juga diutarakan Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong. Mereka khawatir bahwa implementasi pakta kepolisian dan keamanan dapat memicu ketegangan kawasan.
“Kami khawatir perkembangan ini akan mengundang kontes regional lebih lanjut,” kata juru bicara itu dalam sebuah pernyataan.
Perdana Menteri Solomon, Manasseh Sogavare membantah ketakutan mitra Barat tersebut.
Dalam sebuah pernyataan pada Jumat (15/7), Sogavare menegaskan bahwa pakta kepolisiannya dengan China tidak menimbulkan ancaman bagi Pasifik.
Dia mendesak agar Barat dapat menghormati keputusan Solomon dan tidak mengobarkan ketegangan regional dengan kekhawatiran mereka yang berlebih.
"Para kritikus harus menghormati kedaulatan dan hak kami untuk membuat keputusan sendiri," tegasnya, seperti dimuat The Defense Post.
PM Solomon itu mengklaim pakta kepolisian akan membantu mencegah terulangnya kerusuhan anti-pemerintah pada November 2021, yang menghancurkan sebagian besar distrik Pecinan di ibukota Honiara.
Kesepakatan baru, yang dicapai antara Sogavare dan Perdana Menteri China Li Qiang di Beijing akan mengizinkan kehadiran polisi China di Honiara hingga tahun 2025.
Pakta tersebut disepakati menyusul pakta keamanan kontroversial tahun lalu yang sempat mendapat kecaman dari Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Australia.
Negara-negara itu khawatir bahwa China akan semakin menanamkan pengaruh militernya lebih lanjut di Kepulauan Solomon.
BERITA TERKAIT: